Sabtu, 23 Januari 2016

PERAN GURU DALAM MEMBANGUN KULTUR SEKOLAH



PERAN GURU DALAM MEMBANGUN KULTUR SEKOLAH
A.    Kultur Sekolah
Pentingnya kultur sekolah telah diingatkan oleh Seymour Sarason seperti Goodlad (1961 : 16) yang mengatakan bahwa sekolah-sekolah mempunyai kultur yang harus dipahami dan harus dilibatkan jika suatu usaha mengadakan perubahan terhadapnya tidak sekedar kosmetik. Kultur sekolah akan dapat menjelaskan bagaimana sekolah berfungsi dan seperti apakah mekanisme internal yang terjadi.
Sekolah dalam posisinya sebagai bagian dari kultur nasional diperlukan untuk menghidupkan kultur nasional dan memadukan dengan kultur setempat. Para siswa masuk ke sekolah dengan bekal kultur mereka miliki, sebagian sejalan dengan kultur nasional. Kondisi ini membawa akibat terjadinya konflik kultur yang akan mempengaruhi perilaku belajar para siswa di sekolah. Setiap sekolah yang ingin memperbaiki kinerja sekolah perlu memperhitungkan kondisi kultur yang saat ini ada di sekolah yang bersangkutan dengan mengidentifikasi kondisi aneka kultur yang saat ini yang ada dan posisi kultur tersebut dalam kaitannya dengan belajar.
Budaya sekolah menurut Wagner (2004) bukanlah sebuah deskripsi demografis yang berhubungan dengan ras, sosio-ekonomik, atau factor-faktor geografi. Namun, tentang bagaimana orang-orang memperlakukan orang lain, menilai orang lain, dan bagaimana mereka bekerja dan bersama-sama menghasilkan kemajuan baik secara professional maupun personal. Setiap sekolah memiliki keunikan budayanya sendiri-sendiri yang melekat dalam ritual dan tradisi sejarah dan perlakuan sekolah.
Setiap sekolah memiliki keunikan budayanya sendiri-sendiri yang melekat dalam ritual-ritual dan tradisi-tradisi sejarah dan pengalaman sekolah. Oleh karena itu, dengan adanya budaya sekolah, dapat diketahui atau dipahami pola perilaku dari sebuah sekolah yang memberdayakannya dengan sekolah lain. Cavanagh dan Dellar (1998) menyatakan bahwa budaya sekolah dihasilkan dari persepsi individu dan persepsi kolektif yang ada di sekolah serta dari interaksi antar personal-personal sekolah, orangtua, dan system pendidikan.
Pengertian kultur sekolah menurut beberapa ahli :
1.      Deal dan Kennedy (1999) mendefinisikan Kultur sekolah sebagai keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan mereka sebagai warga suatu masyarakat.
2.      Hoy, Tarter, dan Kotkamp (Roach dan Thomas, 2004) budaya sekolah didefinisikan sebagai sebagai sebuah sistem orientasi bersama (norma-norma, nilai-nilai, dan asumsi-asumsi dasar) yang di pegang oleh anggota sekolah, yang akan menjaga kebersamaan unit dan memberikan identitas yang berbeda.
3.      Stchein (1992) kultur sekolah suatu pola asumsi dasar hasil invensi, penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan alhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang, memikirkan dan merasakan masalah-masalah tersebut.
4.      Stolp dan Smith (1995) budaya sekolah adalah pola makna yang terdiri dari norma-norma,nilai-nilai, kepercayaan, tradisi dan mitos yang dipahami oleh anggota-anggota dalam komunitas sekolah.
5.      Paterson (2002) budaya sekolah adalah kumpulan dari norma-norma, nilai-nilai dan kepercayaan, ritual-ritual dan seremonial, symbol-simbol dan cerita-cerita yang menghiasi kepribadian.
Dari definisi tersebut dikatakan bahwa budaya sekolah memiliki unsur-unsur yang terdiri dari asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, sikap dan norma yang dipegang oleh anggota-anggota sekolah dan kemudian mengarah pada bagaimana mereka berperilaku serta akan menjadi karakteristik sekolah mereka.
B.     Peran Kultur Sekolah dalam Membangun Mutu Sekolah
Dalam kaitannya dengan peningkatan mutu sekolah,  Stoll dan Fink (2000) mengidentifikasi 10 norma-norma budaya yang mempengaruhi perbaikan sekolah adalah:
1.      Tujuan bersama (shared goals) kata kuncinya “Kami tahu kemana kami menuju”.
2.      Tanggung jawab akan kesuksesan (responsiblity for succeed) “Kami harus sukses”.
3.      Kolegial (collegiality) “Kami bekerja bersama-sama”.
4.      Perbaikan kontinu (continuous improvement) “Kami mampu mendapat yang lebih baik”.
5.      Pembelajaran yang abadi (lifelong learning) “Pembelajaran untuk semua orang”.
6.      Mengambil risiko (risk taking) “Kami belajar dengan mencoba yang baru”.
7.      Dukungan (support) “Selalu ada seseorang yang ditolong”.
8.      Saling menghoramati (mutual respect) “Semua orang memiliki sesuatu yang diberikan”.
9.      Keterbukaan (openness) “Kami dapat mebedakan perbedaan-perbedaan kami”.
10.  Perayaan dan humor (celebration and humor) “Kami merasa baik dengan diri kami”.
Adapun ritual-ritual dan seremonial, simbol-simbil, cerita-cerita, dan mitos-mitos menurut Hoy dan Miskel (2005) merupakan sekelompok simbo-simbol yang mengkomunikasikan budaya-budaya sekolah. Tiga sistem simbol yang mengkomunikasikan budaya sekolah adalah cerita-cerita, ikon-ikon, dan ritual.
1.      Cerita
Merupakan naratif-naratif yang berdasarkan pada peristiwa-peristiwa yang benar, tetapi kombinasi dari kebenaran dan fiksi. Mitos merupakan cerita-cerita yang mengkomunikasikan suatu kepercayaan yang tidak disangkal dan tidak bisa ditunjukkan oleh fakta. Legenda yang berupa cerita yang diceritakan turun temurun dan diuraikan dengan rincian-rincian fiksi.
2.      Ikon-ikon
Merupakan artifak-artifak secara fisik yang digunakan untuk mengkomunikasikan budaya seperti logo, semboyan, dan tropi.
3.      Ritual-ritual
Adalah rutinitan seremonial-serenomial dan upacara-upacara yang mengisyaratkan tentang yang penting di dalam organisasi. Rutinitas ritual atau seremonial ini, menurut Wager dan Copas (2002) disebut tradisi dari sebuah sekolah.

C.     Peran Guru dalam Membentuk Kultur Sekolah yang Positif
Pada dasarnya kualitas sebuah lembaga pendidikan bisa dilihat dari sejauh mana keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas mulai dari kultur organisasi atau institusi. Khusus dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah kultur yang dibangun adalah nilai-nilai atau norma-norma yang dianut dari generasi ke generasi.
Peran kultur di sekolah akan sangat mempengaruhi perubahan sikap maupun perilaku dari warga sekolah. Kultur sekolah yang positif akan menciptakan suasana kondusif bagi tercapainya visi dan misi sekolah, demikian sebaliknya kultur yang negatif akan membuat pencapaian visi dan misi sekolah mengalami banyak kendala. Kultur sekolah yang baik misalnya kemauan menghargai hasil karya orang lain, kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, motivasi untuk terus berprestasi, komitmen serta dedikasi kepada tanggungjawab. Sedangkan kultur yang negatif misalnya kurang menghargai hasil karya orang lain, kurang menghargai perbedaan, minimnya komitmen, dan tiadanya motivasi berprestasi pada warga sekolah.
Berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia, juga perlu diciptakan kultur yang baik. Pada semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan harus ada komunikasi dan kolaborasi yang apik sehingga mendukung sebuah lembaga untuk terus berinovasi, untuk terus melakukan perubahan yang positif, atau Tajdid dalam bahasa persyarikatan kita. Tenaga pendidik dan kependidikan yang memiliki kultur yang baik akan meciptakan suasana pembelajaran kepada peserta didik yang juga menyenangkan, dilakukan dengan kesungguhan dan sepenuh hati.
Untuk siswa perlu ditingkatkan motivasi belajar dan pentingnya kedisiplinan, kejujuran dan motivasi berprestasi sehingga kompetisi antar siswa akan tercipta. Contoh kultur negatif yang masih sering dilakukan siswa antara lain masih kurang diperhatikannya persoalan kedisiplinan, ini terbukti dari angka keterlambatan yang cukup tinggi.
Budaya inovasi juga perlu ditingkatkan dalam semua elemen dan warga sekolah. Misalnya saja guru harus membudayakan untuk terus berinovasi dalam pembuatan media pembelajaran. Metode pembelajaran yang konvensional harus diganti dengan metode baru yang kontemporer dan profesional tanpa meninggalkan penekanan kepada makna dan kearifan lokal.
Setiap perubahan budaya menuju perbaikan jelas akan menemui tantangan, terutama oleh mereka yang merasa sudah mapan, status quo yang yang sudah terlanjur nyaman dengan kemapanan. Kelompok pembaharu umumnya akan ditentang, memang karena perubahan itu akan terkesan menakutkan bagi sebagian orang. Dalam manajemen organisasi ini sesuatu yang wajar namun tetap perlu dikendalikan.
Solusinya, harus ada kemauan untuk membangun budaya yang kondusif bagi pembelajaran itu dari semua pihak. Lembaga sekolah harus melakukan berbagai pendekatan agar terjadi komunikasi yang baik antara sekolah dengan warga sekolah. Pendekatan yang dilakukan bisa massal maupun personal. Namun agaknya kecenderungan yang lebih efektif adalah pendekatan personal. Dalam pendekatan itu sekolah wajib menyadarkan warga sekolah akan kebutuhan terhadap perubahan itu sendiri, dilakukan sosialisasi, pelatihan dan sebagainya. Disamping juga peraturan yang sudah dibuat melalui konsensus itu mesti ditegakkan.
Bagi guru, agar mudah menerima perubahan maka mesti memperluas wawasan, sharing perkembangan yang sudah terjadi di luar sana sehingga bisa berpikir lebih akomodatif terhadap perubahan positif kebudayaan. Dan yang tidak kalah penting, kepada siswa perlu dilakukan sosialisasi mengenai tantangan dunia ke depan sehingga mereka termotivasi untuk menyiapkan diri menghadapi tantangan zaman.
Terhadap kultur yang dibawa oleh kecanggihan teknologi memang tidak semuanya baik. Kita perlu menyaring, memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik. Tidak semuanya konsekuensi teknologi itu kita biarkan, diperlukan adaptasi, bukan adopsi. Namun adanya sisi negatif itu bukan berarti kita harus menutup diri dari teknologi, kalau kita antipati maka kita pasti semakin tertinggal.
Menurut Senge, pemimpin sebagai guru tidak berarti seperti pakar yang memiliki otoritas mengajar tentang padangan yang benar tentang realitas. Peran pemimpin sebagai guru adalah membantu setiap orang dalam organisasi sekolah, yang mencakup memfasilitasi, membimbing, atau melatih. Pemimpin sebagai guru harus memperhatikan esensi bahasa untuk membangun batas perubahan kultur. Selanjutnya, dijelaskan bahwa pemimpin sebagai guru memerlukan perhatian terhadap bahasa, baik verbal maupun non verbal. Dengan bahasa inilah, ia akan menjalin komunikasi dengan berbagai pihak. Proses ini menurut Senge mencakup: (1) membuat rangka batas diskusi; (2) memperhatikan nilai bersama dalam proses administrasi, konteks sejarah praktek tradisional, atau perbedaan kultur; (4) membuat semua anggota sadar akan kerangka kerja yang digunakan membimbing dialog.

DAFTAR PUSTAKA
Hanum, Farida. 2013. Sosiologi Pendidikan.Yogyakarta: Kanwa Publiser.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar