PERAN GURU DALAM MEMBANGUN KULTUR SEKOLAH
A.
Kultur
Sekolah
Pentingnya kultur sekolah
telah diingatkan oleh Seymour Sarason seperti Goodlad (1961 : 16) yang
mengatakan bahwa sekolah-sekolah mempunyai kultur yang harus dipahami dan harus
dilibatkan jika suatu usaha mengadakan perubahan terhadapnya tidak sekedar
kosmetik. Kultur sekolah akan dapat menjelaskan bagaimana sekolah berfungsi dan
seperti apakah mekanisme internal yang terjadi.
Sekolah dalam posisinya
sebagai bagian dari kultur nasional diperlukan untuk menghidupkan kultur
nasional dan memadukan dengan kultur setempat. Para siswa masuk ke sekolah
dengan bekal kultur mereka miliki, sebagian sejalan dengan kultur nasional.
Kondisi ini membawa akibat terjadinya konflik kultur yang akan mempengaruhi
perilaku belajar para siswa di sekolah. Setiap sekolah yang ingin memperbaiki
kinerja sekolah perlu memperhitungkan kondisi kultur yang saat ini ada di
sekolah yang bersangkutan dengan mengidentifikasi kondisi aneka kultur yang
saat ini yang ada dan posisi kultur tersebut dalam kaitannya dengan belajar.
Budaya sekolah menurut
Wagner (2004) bukanlah sebuah deskripsi demografis yang berhubungan dengan ras,
sosio-ekonomik, atau factor-faktor geografi. Namun, tentang bagaimana
orang-orang memperlakukan orang lain, menilai orang lain, dan bagaimana mereka
bekerja dan bersama-sama menghasilkan kemajuan baik secara professional maupun
personal. Setiap sekolah memiliki keunikan budayanya sendiri-sendiri yang
melekat dalam ritual dan tradisi sejarah dan perlakuan sekolah.
Setiap sekolah memiliki
keunikan budayanya sendiri-sendiri yang melekat dalam ritual-ritual dan
tradisi-tradisi sejarah dan pengalaman sekolah. Oleh karena itu, dengan adanya
budaya sekolah, dapat diketahui atau dipahami pola perilaku dari sebuah sekolah
yang memberdayakannya dengan sekolah lain. Cavanagh dan Dellar (1998)
menyatakan bahwa budaya sekolah dihasilkan dari persepsi individu dan persepsi
kolektif yang ada di sekolah serta dari interaksi antar personal-personal
sekolah, orangtua, dan system pendidikan.
Pengertian kultur sekolah menurut beberapa
ahli :
1. Deal dan Kennedy (1999) mendefinisikan Kultur sekolah sebagai
keyakinan dan nilai-nilai milik bersama yang menjadi pengikat kuat kebersamaan
mereka sebagai warga suatu masyarakat.
2. Hoy, Tarter, dan Kotkamp (Roach dan Thomas, 2004) budaya sekolah
didefinisikan sebagai sebagai sebuah sistem orientasi bersama (norma-norma,
nilai-nilai, dan asumsi-asumsi dasar) yang di pegang oleh anggota sekolah, yang
akan menjaga kebersamaan unit dan memberikan identitas yang berbeda.
3. Stchein (1992) kultur sekolah suatu pola asumsi dasar hasil invensi,
penemuan atau pengembangan oleh suatu kelompok tertentu saat ia belajar
mengatasi masalah-masalah yang telah berhasil baik serta dianggap valid, dan
alhirnya diajarkan ke warga baru sebagai cara-cara yang benar dalam memandang,
memikirkan dan merasakan masalah-masalah tersebut.
4. Stolp dan Smith (1995) budaya sekolah adalah pola makna yang terdiri
dari norma-norma,nilai-nilai, kepercayaan, tradisi dan mitos yang dipahami oleh
anggota-anggota dalam komunitas sekolah.
5. Paterson (2002) budaya sekolah adalah kumpulan dari norma-norma,
nilai-nilai dan kepercayaan, ritual-ritual dan seremonial, symbol-simbol dan
cerita-cerita yang menghiasi kepribadian.
Dari definisi tersebut
dikatakan bahwa budaya sekolah memiliki unsur-unsur yang terdiri dari
asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, sikap dan norma yang dipegang oleh
anggota-anggota sekolah dan kemudian mengarah pada bagaimana mereka berperilaku
serta akan menjadi karakteristik sekolah mereka.
B.
Peran Kultur
Sekolah dalam Membangun Mutu Sekolah
Dalam kaitannya dengan
peningkatan mutu sekolah, Stoll dan Fink
(2000) mengidentifikasi 10 norma-norma budaya yang mempengaruhi perbaikan
sekolah adalah:
1. Tujuan bersama (shared goals) kata kuncinya “Kami tahu kemana kami
menuju”.
2. Tanggung jawab akan kesuksesan (responsiblity for succeed) “Kami
harus sukses”.
3. Kolegial (collegiality) “Kami bekerja bersama-sama”.
4. Perbaikan kontinu (continuous improvement) “Kami mampu mendapat yang
lebih baik”.
5. Pembelajaran yang abadi (lifelong learning) “Pembelajaran untuk
semua orang”.
6. Mengambil risiko (risk taking) “Kami belajar dengan mencoba yang
baru”.
7. Dukungan (support) “Selalu ada seseorang yang ditolong”.
8. Saling menghoramati (mutual respect) “Semua orang memiliki sesuatu
yang diberikan”.
9. Keterbukaan (openness) “Kami dapat mebedakan perbedaan-perbedaan
kami”.
10. Perayaan dan humor (celebration and humor) “Kami merasa baik dengan
diri kami”.
Adapun ritual-ritual dan
seremonial, simbol-simbil, cerita-cerita, dan mitos-mitos menurut Hoy dan
Miskel (2005) merupakan sekelompok simbo-simbol yang mengkomunikasikan
budaya-budaya sekolah. Tiga sistem simbol yang mengkomunikasikan budaya sekolah
adalah cerita-cerita, ikon-ikon, dan ritual.
1. Cerita
Merupakan naratif-naratif yang berdasarkan pada peristiwa-peristiwa
yang benar, tetapi kombinasi dari kebenaran dan fiksi. Mitos merupakan
cerita-cerita yang mengkomunikasikan suatu kepercayaan yang tidak disangkal dan
tidak bisa ditunjukkan oleh fakta. Legenda yang berupa cerita yang diceritakan
turun temurun dan diuraikan dengan rincian-rincian fiksi.
2. Ikon-ikon
Merupakan artifak-artifak secara fisik yang digunakan untuk
mengkomunikasikan budaya seperti logo, semboyan, dan tropi.
3. Ritual-ritual
Adalah rutinitan seremonial-serenomial dan upacara-upacara yang
mengisyaratkan tentang yang penting di dalam organisasi. Rutinitas ritual atau
seremonial ini, menurut Wager dan Copas (2002) disebut tradisi dari sebuah
sekolah.
C.
Peran Guru
dalam Membentuk Kultur Sekolah yang Positif
Pada dasarnya kualitas sebuah lembaga pendidikan bisa
dilihat dari sejauh mana keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas mulai dari
kultur organisasi atau institusi. Khusus dalam lembaga pendidikan formal
seperti sekolah kultur yang dibangun adalah nilai-nilai atau norma-norma yang
dianut dari generasi ke generasi.
Peran kultur di sekolah akan sangat mempengaruhi perubahan
sikap maupun perilaku dari warga sekolah. Kultur sekolah yang positif akan
menciptakan suasana kondusif bagi tercapainya visi dan misi sekolah, demikian
sebaliknya kultur yang negatif akan membuat pencapaian visi dan misi sekolah
mengalami banyak kendala. Kultur sekolah yang baik misalnya kemauan menghargai
hasil karya orang lain, kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan kewajiban,
motivasi untuk terus berprestasi, komitmen serta dedikasi kepada tanggungjawab.
Sedangkan kultur yang negatif misalnya kurang menghargai hasil karya orang
lain, kurang menghargai perbedaan, minimnya komitmen, dan tiadanya motivasi
berprestasi pada warga sekolah.
Berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia, juga perlu
diciptakan kultur yang baik. Pada semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
harus ada komunikasi dan kolaborasi yang apik sehingga mendukung sebuah lembaga
untuk terus berinovasi, untuk terus melakukan perubahan yang positif, atau
Tajdid dalam bahasa persyarikatan kita. Tenaga pendidik dan kependidikan yang
memiliki kultur yang baik akan meciptakan suasana pembelajaran kepada peserta
didik yang juga menyenangkan, dilakukan dengan kesungguhan dan sepenuh hati.
Untuk siswa perlu ditingkatkan motivasi belajar dan
pentingnya kedisiplinan, kejujuran dan motivasi berprestasi sehingga kompetisi
antar siswa akan tercipta. Contoh kultur negatif yang masih sering dilakukan
siswa antara lain masih kurang diperhatikannya persoalan kedisiplinan, ini
terbukti dari angka keterlambatan yang cukup tinggi.
Budaya inovasi juga perlu ditingkatkan dalam semua elemen
dan warga sekolah. Misalnya saja guru harus membudayakan untuk terus berinovasi
dalam pembuatan media pembelajaran. Metode pembelajaran yang konvensional harus
diganti dengan metode baru yang kontemporer dan profesional tanpa meninggalkan
penekanan kepada makna dan kearifan lokal.
Setiap perubahan budaya menuju perbaikan jelas akan menemui
tantangan, terutama oleh mereka yang merasa sudah mapan, status quo yang yang
sudah terlanjur nyaman dengan kemapanan. Kelompok pembaharu umumnya akan
ditentang, memang karena perubahan itu akan terkesan menakutkan bagi sebagian orang.
Dalam manajemen organisasi ini sesuatu yang wajar namun tetap perlu
dikendalikan.
Solusinya, harus ada kemauan untuk membangun budaya yang
kondusif bagi pembelajaran itu dari semua pihak. Lembaga sekolah harus
melakukan berbagai pendekatan agar terjadi komunikasi yang baik antara sekolah
dengan warga sekolah. Pendekatan yang dilakukan bisa massal maupun personal.
Namun agaknya kecenderungan yang lebih efektif adalah pendekatan personal.
Dalam pendekatan itu sekolah wajib menyadarkan warga sekolah akan kebutuhan
terhadap perubahan itu sendiri, dilakukan sosialisasi, pelatihan dan
sebagainya. Disamping juga peraturan yang sudah dibuat melalui konsensus itu
mesti ditegakkan.
Bagi guru, agar mudah menerima perubahan maka mesti
memperluas wawasan, sharing perkembangan yang sudah terjadi di luar sana
sehingga bisa berpikir lebih akomodatif terhadap perubahan positif kebudayaan.
Dan yang tidak kalah penting, kepada siswa perlu dilakukan sosialisasi mengenai
tantangan dunia ke depan sehingga mereka termotivasi untuk menyiapkan diri
menghadapi tantangan zaman.
Terhadap kultur yang dibawa oleh kecanggihan teknologi
memang tidak semuanya baik. Kita perlu menyaring, memilih dan memilah mana yang
baik dan mana yang tidak baik. Tidak semuanya konsekuensi teknologi itu kita
biarkan, diperlukan adaptasi, bukan adopsi. Namun adanya sisi negatif itu bukan
berarti kita harus menutup diri dari teknologi, kalau kita antipati maka kita
pasti semakin tertinggal.
Menurut Senge, pemimpin sebagai guru tidak berarti
seperti pakar yang memiliki otoritas mengajar tentang padangan yang benar
tentang realitas. Peran pemimpin sebagai guru adalah membantu setiap orang
dalam organisasi sekolah, yang mencakup memfasilitasi, membimbing, atau
melatih. Pemimpin sebagai guru harus memperhatikan esensi bahasa untuk
membangun batas perubahan kultur. Selanjutnya, dijelaskan bahwa pemimpin
sebagai guru memerlukan perhatian terhadap bahasa, baik verbal maupun non
verbal. Dengan bahasa inilah, ia akan menjalin komunikasi dengan berbagai pihak.
Proses ini menurut Senge mencakup: (1) membuat rangka batas diskusi; (2)
memperhatikan nilai bersama dalam proses administrasi, konteks sejarah praktek
tradisional, atau perbedaan kultur; (4) membuat semua anggota sadar akan
kerangka kerja yang digunakan membimbing dialog.
DAFTAR
PUSTAKA
http://artikeltugaskuliah.blogspot.com/2012/04/membangun-kultur-sekolah-dan-masyarakat.html diakses pada tanggal 19 Mei 2015
Hanum, Farida. 2013.
Sosiologi Pendidikan.Yogyakarta:
Kanwa Publiser.