Teori Sosiologi Max Weber
A.
Biografi Max Weber
Max Weber
dilahirkan di Erfurt, Thuringia, pada tanggal 21 April 1864, tetapi dibesarkan
di Berlin dari keluarga kelas menengah. Di usia 8 tahun Weber mulai mempelajari
hokum di Universitas Heidelberg. Weber meneruskan studynya di Berlin dan mulai
membantu dalam pengadilan. Pada tahun 1889, ia menyelesaikan tesis
Doctorialnya. Setelah araris Roma, ia mulai mengajar di Universitas Berlin.
Weber mulai membaktikan seluruh waktunya untuk kehidupan akademisnya ketika ia
menerima kedudukan sebagai guru besar ekonomi di Universitas Freiburgh pada
tahun 1894. Dua tahun kemudian ia kembali ke Universitas Heidelberg, sebagai
guru besar ekonomi.
Perbedaan antara
orangtuanya membawa dampak besar pada orientasi intelektual dan perkembangan
psikologinya. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki posisi politik
yang relative penting. Weber jelas merupakan bagian dari kemapanan politik dan
akibatnya ia abstain dari aktivitas dan actori yang memerlukan pengorbanan
pribadi atau mengancam posisinya dari dalam system. Selain itu ayah Weber adalah
seseorang yang menikmati dunia dan dalam banyak hal ia sangat berlawanan dengan
istrinya. Ibu Max Weber adalah seorang calvinis yang sangat religious, seorang
perempuan yang berusaha menjalani kehidupan asketis yang tidak banyak terlibat
dalam kenikmatan duniawi yang didambakan oleh suaminya. Perhatiannya lebih actor
dunia lain, ia terusik oleh ketidaksempurnaan yang merupakan tanda bahwa ia
tidak ditakdirkan untuk mendapatkan keselamatan. Perbedaan tajam antara kedua
orangtuanya menyebabkan ketegangan rumahtangga dan perbedaan serta ketegangan
tersebut membawa dampak besar bagi Weber. Karena tidak mungkin mendamaikan
kedua orangtuanya, sebagai seorang anak Weber dihadapkan pada pilihan sulit.
Mula-mula ia lebih cenderung pada kehidupan ayahnya, namun kemudian ia lebih
dekat dengan ibunya. Apapun pilihannya, ketegangan yang ditimbulkan oleh
kebutuhan untuk memilih dua kutub tersebut membawa pengaruh negative pada
psikis Max Weber.
Pada usia 18
tahun, Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di
Universitas Heidelberg. Weber telah menunjukan kemampuan intelektualnya, namun
dalam hal derajat sosial ia memasuki Universitas Heidelberg dengan malu-malu
dan terbelakang. Namun hal tersebut cepat berubah setelah ia tertarik pada cara
hidup ayahnya dan bergabung dengan organisasi kepemudaan tempat ayahnya dulu
pernah terlibat. Disana ia berkembang secara sosial, paling tidak sebagian
karena banyaknya bir yang ia konsumsi bersama dengan teman-temannya. Selain
itu, dengan bangga ia menampilkan bekas luka akibat perkelahian yang merupakan
tanda dari organisasi tersebut. Weber tidak hanya mewujudkan identitasnyadengan
cara hidup ayahnya yang seperti itu, namun juga memilih paling tidak pada saat
karir ayahnya hokum. Setelah 3 tahun Weber meninggalkan Heidelberg untuk
menjalani wajib militer, dan pada tahun 1884 kembali ke Berlin dan kerumah
orangtuanya untuk mengambil kuliah di Universitas Berlin. Ia tetap disana
selama hamper 8 tahun kemudian ketika ia menyelesaikan studynya, meraih gelar
doctor, menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Dalam
proses ini minatnya lebih banyak beralih ke persoalan-persoalan sepanjang masa
ekonomi, sejarah dan sosiologi. Selama 8 tahun di Berlin secara finansial Weber
tergantung pada ayahnya, satu situasi yang semakin tidak disukai. Pada saat
yang sama ia semakin mendekati nilai-nilai ibunya dan antipasti terhadap
ayahnya meningkat. Ia menjalani kehidupan asketis dan tenggelam dalam kerjanya.
Mengikuti ibunya Weber menjadi seorang asketis dan rajin, seorang pekerja giat.
Pada tahun 1896, giat bekerja ini membawanya pada posisi seorang professor
ekonomi di Heidelberg, namun pada tahun 1897 ketika karir akademik berkembang
ayahnya meninggal dunia setelah bertengkar hebat dengannya. Seringkali Weber
tidak dapat tidur dan bekerja, ia menghasilkan 6 atau 7 tahun kemudian dalam
kondisi yang actor mati suri. Pada tahun 1903, tenaganya pulih kembali namun
tidak sampai tahun 1904. Ketika ia menyampaikan kuliah perdananya di Amerika
Serikat dalam kurun waktu enam setengah tahun Weber mampu kembali aktif dalam
kehidupan akademiknya.
Pada tahun 1904
dan 1905 ia menerbitkan karya terkenalnya, The
Protestan Ethnik and The Spirit Capitalism. Dalam karyanya Weber menyatakan
kesalihan sang ibu yang diwarisinya pada level akademik. Weber banyak menghasilkan waktu untuk mempelajari
agama kendati secara pribadi ia tidak religious.
Meskipun ia dihinggapi masalah psikologis, setelah
tahun 1904, Weber mampu bekerja kembali menghasilkan karya pentingnya. Pada
tahun-tahun tersebut, Weber menerbitkan studynya tentang agama-agama dunia
dalam perspektif sejarah dunia. Ketika ia meninggal dunia (14 Juni 1920) ia
tengah mengerjakan karya terpentingnya, Economy
and Society. Meskipun bukunya diterbitkan dan kemudian diterjemahkan ke dalam
banyak bahasa, buku ini tidak selesai. Selain menghasilkan banyak tulisan
ketika itu Weber melakukan sejumlah aktifitas lain. Ia membantu mendirikan
masyaratak Sosiologi Jerman pada tahun 1910. Rumahnya menjadi pusat bagi banyak
intelektual, termasuk para sosiolog seperti George Simell, Robert Michael dan
saudaranya Alfred Weber, maupun filsuf kritik sastra George Lukacs. Selain itu
Weber aktif secara politik dan menulis banyak essay tentang sejumlah isu pada
masanya. Dalam kehidupan Weber, dalam karya-karyanya terdapat ketegangan antara
pikiran birokratis sebagaimana
ditampilkan oleh sang ayah dan religiusitas ibunya. Ketegangan yang
tidak terpecahkan itu merasuk ke dalam karya Weber dan dalam kehidupan pribadinya
- Pemikiran Max Webber tentang rasionalitas dan tindakan sosial
Weber
mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas
sarana tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk
pada tipe tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman
tentang rasionalisasi skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu
tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah
keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, instistusi, organisasai,
strata, kelas dan kelompok.
Tipe-tipe rasionalitas:
1.
Tipe rasionalitas praktis, yang didefinisikan oleh Karl Berg sebagai “setiap
jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam
kaitannya dengan kepentingan indidvidu yang murni, fragmatis dan egoistis”
(1980: 1151). Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan longgarnya ikatan
magi actorio, dan dian terdapat dalam setiap peradaban dan melintasi sejarah:
jadi, dia tidak terbatas pada barat (oksiden) modern.
2.
Rasionalitas teoritis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas
melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan.
Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak.
3.
Rasionalitas actoriona (seperti rasionalitas praktis, namun tidak seperti
rasionalitas teoritis) secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam
sejumlah pola melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas actoriona melibatkan
sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sitem nilai
(secara sunstantif) tidak lebih rasional daripada sistem nilai lainnya. Jadi,
tipe rasioanalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selam
ada postulat nilai yang konsisten.
4.
rasionalitas formal, yang melibatkan kalkulasi sarana-tujuan. Meskipun seluruh
tipe rasionalitas lain juga bersifat lintas peradaban dan melampaui sejarah,
rasionalitas formal hanya muncul di Barat seiring dengan lahirnya
industrialisasi.
Weber mimilih
konsep rasionalitas sebagai titik pusat perhatiannya yang utama. Konsep ini sama
pentingnya dengan konsep solidaritas untuk Durkheim, konflik kelas Marx,
tahap-tahap perkembangan intelektual bagi Comte, dan mentalitas budaya untuk
Sorokin. Weber melihat perkembangan masyarakat barat yang modern sebagai suatu
hal yang menyangkut peningkatan yang mantap dalam bentuk rasionalitas.
Peningkatan ini tercermin dalam tindakan ekonomi individu setiap hari dan dalam
bentuk-bentuk organisasi sosial, hal ini juga juga terungkapkan dalam evolusi acto
Barat. Meskipun acto sering dilihat sebagai bahasa emosi, Weber memperlihatkan
bahwa acto juga tunduk pada kecenderungan rasionalisasi yang merembes pada
perkembangan kebudayaan Bbarat yang modern. Karena kriteria rasionalitas
merupakan suatu kerangka acuan, maka masalah keunikan orientasi subyektif
individu serta motivasinya sebagiannya dapat diatasi. Juga menurut perspektif
ilmiah, kriteria rasionalitas merupakan suatu dasar yang logis dan obyektif
untuk mendirikan suatu ilmu pengetahuan mengenai tindakan sosial serta
institusi sosial, dan sementara itu membantu menegakkan hubungannya dengan arti
subyektif. Beberapa masalah akan kita hadapi dalam menganalisa tindakan sosial
menurut titik pandangan ini.
Para ahli filsafat
sosial, pujangga, dan pengamat sosial lainnya berbeda secara mendalam dalam memberikan
prioritas pada pikiran, intelek, dan logika (kegiatan otak) atau pada hati
(seperti perasaan, actorio, emosi) kalau menjelaskan perilaku manusia. Sejauh
mana perilaku manusia itu bersifat rasional? Tak seorangpun berbuat sesuatu
tanpa pikiran, tetapi pikiran mungkin hanya sekedar keinginan untuk menyatakan
suatu perasaan, dan bukan suatu perhitungan yang sadar atau logis. Kebanyakan
kita heran mengapa kadang-kadang pikiran kita tidak mampu membangkitkan
motivasi atau mendorong kita untuk bertindak. Kadang-kadang mungkin juga kita
berpikir bahwa tindakan orang lain itu sama sekali tidak masuk akal, hanya
menjadi berarti apabila orang itu menjelaskan actor bagi tindakan itu—mesipun
kriteria yang kita gunakan untuk penilaian seperti itu mungkin agak longgar.
Misalnya, mungkin kelihatannya masuk akal bahwa seseorang membayar dengan
sangat mahal sebuah mobil besar yang kurang cepat apabila kita mengetahui bahwa
ada temannya yang mati ketika mengendarai mobil kecil yang kurang bertenaga.
Tetapi apabila orang-orang lalu memberikan pembenaran-pembenaran seperti itu,
kita sepertinya heran kalau pembenaran seperti itu sebenarnya merupakan
rasionalisasi yang bersifat ex post facto tentang tindakan, yang diberikan
dengan actor-alasan yag sangat berbeda. Pareto, misalnya, melihat kebanyakan
tindakan itu bersifat nonlogis (muncul dari perasaan), dan yang lalu
dirasionalisasikan menurut motif-motif yang dapat diterima secara sosial.
Pertanyaan-pertanyaan
yang muncul sehubungan dengan rasionalitas malah menjadi lebih kompleks apabila
kita melihat perannya dalam institusi-institusi sosial. Sejauh mana institusi
sosial dan organisasi mencerminkan tipe rasionalitas? Salah satu sumbangan
Weber yang paling masyhur terhadap sosiologi adalah analisa klasiknya mengenai birokrasi
modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling rasional (secara
teknis bersifat efesien) dirancangkan. Dalam pengertian apa suatu birokratis
itu merupakan tipe organisasi sosial yang rasional? Dalam masyarakat modern
yang dikendalikan secara birokratis ini, kita sering mengalami aspek-aspek
tertentu dalam birokrasi yang tidak rasional, khususnya kalau kita dipaksa
untuk berinteraksi dengan nasabah atau para langganan. Apa yang membatasi
rasionalitas? Apakah rasionalitas suatu organisasi sosial merupakan suatu tipe
yang berbeda atau berada pada tingkat yang berbeda dari yang bersifat
individual.
Kita tahu,
misalnya, bahwa individu dalam posisi yang rendah dalam satu organisasi
birokratis malah tidak sadar bagaimana sumbangannya yang khusus itu dihubungkan
dengan yang dari ratusan orang lainnya dalam suatu sistem kegiatan yang saling
tergantung dan sangat terkoordinasi secara rasional. Rasionalitas di tingkat
individual dan di tingkat organisasi mungkin mencerminkan kriteria yang berbeda
di mana keduanya tidak saling mengimplisit. Jawaban yang hanya “ya” atau
“tidak” terhadap pertanyaan apakah tindakan manusia bersifat rasional atau
tidak, adalah tidak mungkin. Tentu ada aspek rasional atau intelektual dalam
kebanyakan perilaku manusia. Penggunaan teori implisit dalam menggambarkan
pengalaman seseorang di masa lampau, dan dalam mengembangkan rencana untuk masa
depan (seperti didiskusikan dalam Bab I) jelas merupakan suatu proses
intelektual. Tetapi ada yang lebih lagi dalam perilaku manusia. Suatu aspek
perasaan juga tercakup dalam tindakan, seperti nilai dan tujuan yang berada di
luar kriteria perhitungan rasional. Analisa mengenai tempat rasionalitas dalam
tindakan manusia menuntut kita untuk mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan
rasionalitas khususnya, dan tingkatannya baik secara individual maupun
institusional di mana istilah ini diterapkan. Sebelum mendiskusikan sumbangan
Weber terhadap teori sosiologi, kita akan melihat sepintas kilas kehidupan
Weber serta konteks intelektual dan sosial di mana dia hidup.
Berdasarkan teori
yang dikemukakan oleh Weber tentang tindakan sosial.
Menurut Kamanto Sunarto yang dikutip
dalam buku pengantar sosiologi, tindakan sosial menurut Max Weber,
“Tindakan sosial adalah tindakan manusia yang dapat mempengaruhi
individu-individu lainnya dalam masyarakat serta mempunyai maksud
tertentu, suatu tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan
mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang
lain”.
Max Weber membedakan tindakan sosial
kedalam 4 kategori :
1.
Zweek Rational
Yaitu tindakan yang
dilaksanakan setelah melalui tindakan matang mengenai tujuan dan cara yang akan
ditempuh untuk meraih tujuan itu. Jadi, Rasionalitas
instrumental adalah tindakan yang diarahkan secara rational untuk
mencapai suatu tujuan tertentu dan diterapkan dalam suatu situasi dengan suatu
pluralitas cara-cara dan tujuan-tujuan dimana sipelaku bebas memilih
cara-caranya secara murni untuk keperluan efisiensi.
2.
Wert Rational
Tindakan sosial
jenis ini actor serupa dengan kategori atau jenis tindakan sosial rasional
instrumental, hanya saja dalam werk rational tindakan-tindakan sosial
ditentukan oleh pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai
estetis, etis dan keagamaan, manakala cara-cara yang dipilih untuk keperluan
efisiensi mereka karena tujuannya pasti yaitu keunggulan.
3.
Affectual Rational
Tindakan
ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya
timbul secara spontan karena mengalami suatu kejadian yang sebagian besar
dikuasai oleh perasaan atau emosi tanpa perhitungan dan pertimbangan
yang matang.
4.
Tradisional Rational
Tindakan sosial semacam ini bersifat
rasional, namun sipelaku tidak lagi memperhitungkan proses dan tujuannya
terlebih dahulu, yang dijadikan pertimbangan adalah kondisi atau tradisi yang
sudah baku dan manakala baik itu cara-caranya dan tujuan-tujuannya adalah
sekedar kebiasaan
- Pemikiran Max Webber tentang Etika Protestan dan Kapitalis
Weber
menyebutkan agama adalah salah satu actor utama perbedaan antara budaya barat
dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan
antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik
budaya barat. Tujuannya untuk menemukan aktor mengapa budaya barat dan timur
berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya
terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar
dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu
saja ini ditopang dengan actor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap
upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang
pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi
pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah
meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal
ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang
sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max
Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des
Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat
menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara
doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama
dalam perkembangan actori modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana
nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya
Weber tentang The Protestan Ethic and
Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama
dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang
dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan
seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk acto atau neraka, untuk
mengetahui apakah ia masuk acto atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan
kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka actor
dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni acto, namun jika
sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat
diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.
Doktrin
Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi
serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu
berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan
dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di
akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di
kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan
dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya.
Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi
kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan
yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk acto, sebaliknya kegagalan yang
tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan”
pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya
untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda
yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi
juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan.
Etika Protestan
dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan
rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi
actor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini
menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber
mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat
mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti
itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi
kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan
kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya
berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang
bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan
ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka
mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang
digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat,
infaq dan shadaqah.
Menurut
Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki
ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan
kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi actori, ketika Weber hidup,
kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh
manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang
terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan
kelompok manusia.
Selain
membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga
membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian
Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas
kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya
yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya
tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang
sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak
menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional
dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama
tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar
kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber
memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang
mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa)
yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa
kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas
pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan studi pustaka atas eksistensi
masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka
menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana
adalah memahami sejarah kehidupannya,
Dalam
berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki akar
yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM, Tiongkok
pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk
benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat perdagangan,
namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya
yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan
jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap
roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan
perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi
suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan
Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana mungkin
hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.
Pada
bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan kekuasaan, ada
berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik sosial. Tentang
Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki
monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini menjadi
sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik barat
modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga justifikasi
batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar bagi
dominasi ini yang pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering
disebut sebagai dominasi tradisional, karma disini ada otoritas atas adat
istiadat yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai actorio dan penguasa
patrimonial dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang
pemimpin atas dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua
merupakan otoritas kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan
keyakinan personal pada wahyu, actor, atau bisa juga kualitas lain yang
istimewa dari kepemimpinan individual. Sebagai contohnya seperti yang
diperaktikan seorang Nabi, pangliama perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin
politik yang memang mempunyai sebuah actori. Yang ketiga merupakan dominasi
karma legalitas, dominasi ini didasari oleh sebuah acto yang memang sudah
terbentuk. Legalitas ini timbul karena keyakinan pada keabsahan statula legal
dan komnpetensi fungsional yang beralas pranata yang dibuat secara rasional.
Contohnya pemimpin yang dipilih secara demokratis melalui pemilu yang
berdasarkan undang-undang yang berlaku seperti halnya Negara kita dan
Negara-negara lain yang demokratis.
Ada yang perlu
dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan rasionalisasi acto, menurutnya
perkembangan acto diawali pewahyuan ala kharismatik, tahapan ini merupakan
penciptaan acto dari ketiadaan acto sama sekali. Tahapan ini ditandai dengan
mode bersifat kharimatik. Tahapan yang kedua menurut Weber adalah penciptaan acto
secara empiris, pengadaan acto empiris ini tercipta melalui proses teknis yang
merupakann kreatifitas manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai dengan
metodenya yang bersifat empirical. Selanjutnya adalah tahapan imposition atau
pembebanan acto oleh kekuatan-kekuatan sekuler, dan yang terakhir merupakan
tahapan actorional, artinya acto yang dibuat oleh orang-orang yang benar-benar
mempunyai kemampuan didalamnya karna mereka mendapatkan pendidikian formal dengan
metode ilmiah dan logis formal. Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu
akan berkembang dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah
ditentukan diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan acto, proses
itu tak berjalan linier menaiki tangga secara berurutan, justru perubahannya
bisa saja terjadi secara gradual atau acak. Hal ini bisa ditemukan pada kondisi
masyarakat yang mengalami revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita masih
menemukan fakta banyaknya masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam
menyesuaikan acto yang mengikatnya oleh acto formal yang diciptakan negara, ini
mengakibatkan kementalan antara kualitas acto dan kualitas masyarakat,
alasannya adanya masyarakat yang tak bisa mencerna acto sehingga terjadi
pemboikotan secara tidak langsung.
Ada kasus yang
lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan acto manusia saat ini, contoh
beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu saja bisa merupakan
penolakan mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa yang disebut sebagai acto
tuhan yang berpedoman pada wahyu dari teks-teks suatu kitab suci masih berlaku
sepanjang zaman yang dijadikan acto manusia saat ini. Tentu tidak serta merta
dapat dikatakan ketinggalan, karna berada pada tahap satu dari perkembangan
manusia yang diungkapkan Weber sebelunya, justru kharismatik tradisional mapu
melampaui acto manusia profesiaonal sekalipun.
Buku
ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah, beberapa tandan
dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang agama, kekuasaan,
ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam buku ini merupakan
esai tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali pembahasan diantaranya
mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas social, status dan partai, juga
birokrasi.
Weber
selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri
administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi
dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal termasuk
didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa karakteristik
sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang berfungsi secara
spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang sudah ditetapkan
dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat
kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis juga
adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah
pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah
panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh
klasik rasionalisasi.
D. Pemikiran Weber tentang Kelas, Status dan Kekuasaan.
Dimulai
dengan kelas, kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang
menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun
perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas
hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam
meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan
kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.Weber berpegang pada
konsep orientasi tindakannya dengan menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas,
kelas adalah sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi, dan
kadang-kadang sering kali, basis tindakan kelompok. Weber menyatakan bahwa
“situasi kelas” hadir ketika telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
Status
merujuk pada komunitas. “situasi status” didefinisikan Weber sebagai “setiap
komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang
derajat martabat tertentu, positif atau negative. Status oleh Weber
lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga
dipengaruhi oleh banyak aktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah jadi
semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status
terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait
dengan produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup
berbeda dengan yang ada di bawah. Dalam hal ini, gaya hidup, atau status,
terkait dengan situasi kelas. Namun, kelas dan status tidak selalu terkait satu
sama lain.
Kekuasaan
menurut Weber adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun sebenarnya
mendapat tentangan atau tantangan dari orang lain. Max Weber mengemukakan
beberapa bentuk wewenang dalam hubungan manusia yang juga
menyangkut hubungan dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan
untuk mencapai tujuan–tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh
anggota–anggota masyarakat. Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai
suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa
menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata
lain, kekuasaan dalam pengertian yang luas adalah kemampuan untuk mempengaruhi
atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke dalam
tiga tipe berikut.
1.
Ratonal-legal authority, yakni bentuk wewenang yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas
legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya.
Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang bersifat politis.
2.
Traditional authority, yakni jenis wewenang yang
berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya
berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam
dua tipe, yakni patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme
adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas.
Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki
kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah
jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat –
kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi
terhadapnya. Dalam patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan
tradisional memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang
dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih
didasarkan pada hubungan – hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada
kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari
kedua jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang
tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana
baik yang bersifat gaib maupun religious.
Contoh
patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah
tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas
pegawai rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang
ditaklukannya.
Ciri
khas dari wewenang baik patriarkhalisme maupun
patrimonialisme adalah adanya system norma
yang dianggap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran
atasnya akan menyebabkan adanya bencana baik yang bersifat gaib maupun yang
bersifat religious. Si pemegang kekuasaan dari wewenang sedemikian ini dalam
merumuskan keputusan-keputusannya adalah atas dasar pertimbangan pribadinya dan
bukan atas dasar pertimbangan fungsinya. Dalam pengertian ini wewenang
tradisional sedemikian ini lebih bersifat irrasional.
3.
Charismatic authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas
yang luar biasa yang dimilikinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami
sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu
sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan
demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik
secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di mana pihak
yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar
biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh
para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai, dan sebagainya.
good
BalasHapus