A. Biografi
August Comte
August Comte memiliki nama
panjang Isidore Marie Auguste François Xavier Comte, lahir pada tanggal 19 Januari 1798 di kota
Montpellier di bagian selatan
Prancis. Beliau adalah filsuf dan ilmuan sosial terkemuka yang sangat berjasa
dalam perkembangan ilmu kemasyarakatan atau Sosiologi.
Comte sebagai
mahasiswa di Ecole
Politechnique,
Paris. Ecole Politechnique saat itu terkenal dengan kesetiaannya kepada idealis
republikanisme dan filosofi proses. Pada tahun 1818, politeknik tersebut
ditutup untuk re-organisasi. Comte pun meninggalkan Ecole dan melanjutkan
pendidikannya di sekolah kedokteran di Montpellier. Tak lama kemudian, ia
melihat sebuah perbedaan yang mencolok antara agama katolik yang ia anut dengan
pemikiran keluarga monarki yang berkuasa sehingga ia terpaksa meninggalkan
Paris. Kemudian pada Agustus 1817 dia menjadi murid sekaligus sekertaris dari
Claude Henri de Rouvroy, Comte de Saint-Simon, yang kemudian membawa Comte
masuk ke dalam lingkungan intelek. Namun
pada tahun 1824, Comte meninggalkan Saint-Simon karena lagi-lagi ia merasa ada
ketidakcocokan dalam hubungannya.
Pada tahun 1842,
ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Le Cours de Philosophie Positivistic.
Pemikiran brilian Comte mulai menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam
karya-karya filsafat yang tumbuh lebih dahulu. Dengan penuh kesadaran bahwa
akal budi manusia terbatas, Comte mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu
pengetahuan yang berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan ilmiah. Tiga
hal ini dapat menjadi ciri pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun,
yaitu :
1. Membenarkan
dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan,
2. Mengumpulkan
dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai
mereka, dan
3. Memprediksikan
fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum itu
dan mengambil
tindakan yang dirasa bermanfaat.
Keyakinan Comte
dalam pengembangan yang dinamakan positivisme semakin besar, positivisme
sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar
manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metode ilmu
pengetahuan. Disini Comte mengungkapkan perkembangan kehidupan manusia dengan
menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya,
tumbuh dan berkembang pada masa sebelumnya. Comte mencoba dengan keahlian
berfikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis)
maupun pemikiran yang pada penjelasan-penjelasannya spekulatif (metafisika).
Comte dengan konsistensinya
mensosialisasikan agama humanitas-nya dan hukum tiga tahap yang memaparkan
perkembangan kebudayaan manusia hingga akhir hayatnya, Comte meninggal di Paris
pada tanggal 5 September 1857.
B. Teori-Teori Augus Comte
1. Lahirnya
Positivisme
Menurut buku
Realitas Sosial yang ditulis K. J Veeger halaman 17, positivisme adalah paham
filsafat yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada
hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai ilmu pengetahuan (science, sains).
Positivisme merupakan ajaran bahwa hanya fakta atau hal yang dapat ditinjau dan
diuji melandasi pengetahuan sah.
Positivisme
lahir sebagai reaksi terhadap zaman pencerahan. Dalam buku Teori Sosiologi
Karya George Ritzer dan Douglas J. Goodman disebutkan, pengaruh Pencerahan pada
teori sosiologi lebih bersifat tidak langsung dan negatif ketimbang bersifat
langsung dan positif.
Zaman pencerahan
menyebabkan beberapa “penyakit” pada masyarakat. Oleh karena itu Comte
menginginkan adanya perubahan atau reformasi sosial untuk memperbaiki
“penyakit” yang diakibatkan oleh Revolusi Perancis dan Pencerahan itu. Comte
hanya menginginkan evolusi alamiah di masyarakat.
Hingga akhirnya tercipta teori
evolusi yang dikemukakan Comte atau yang biasa disebut hukum tiga tahap yaitu:
a. Tahap
Teologis
Dimulai sebelum tahun 1300 dan
menjadi ciri dunia. Tahap ini meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa,
roh atau tuhan. Pemikiran ini menjadi dasar yang mutlak untuk menjelaskan
segala fenomena yang terjadi di sekitar manusia, sehingga terkesan irasional.
Dalam tahap teologis ini terdapat tiga kepercayaan yang dianut masyarakat. Yang
pertama fetisysme dan dinamise, menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa.
Contohnya, bergemuruhnya guntur disebabkan raksasa yang sedang berperang dan
lain-lain. Kemudian ada animisme yang mempercayai dunia sebagai kediaman
roh-roh atau bangsa halus. Yang kedua politeisme, sedikit lebih maju dari pada
kepercayaan sebelumnya. Politeisme mengelompokkan semua dan kejadian alam
berdasarkan kesamaan-kesamaan diantara mereka. Sehingga politeisme
menyederhanakan alam semesta yang beranekaragam. Contoh dari politeisme, dulu
disetiap sawah di desa berbeda mempunyai dewa yang berbeda. Politeisme menganggap
setiap sawah dimanapun tempatnya mempunyai dewa yang sama, orang jawa
mengatakan dewa padi yaitu yaitu dewi sri. Yang terakhir, monoteisme yaitu
kepercayaan yang menganggap hanya ada satu tuhan.
b. Tahap
Metafisik
Pada tahap ini manusia mengalami
pergeseran cara berpikir. Tahap teologis, semua fenomena yang terjadi disekitar
manusia sebagai akibat dari kehendak roh, dewa atau tuhan. Namun pada tahap
ini, muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain tuhan seperti “alam”. Tahap ini
terjadi antara tahun 1300 sampai 1800.
c. Tahap
Positivisme
Pada tahap ini semua gejala alam
atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah berdasarkan
peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris. Lembaga agama yang
dulunya mengatur segalanya pada tahap ini harus menyerahkan hegemoninya kepada
lembaga-lembaga lainnya sehingga muncullah lembaga-lembaga lainnya. Selainnya
itu muncul sekulerisme atau pemisahan dibidang agama dengan bidang yang lain.
Tahap ini menjadikan ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi
lebih rasional, sehingga tercipta dunia yang lebih baik karena orang cenderung
berhenti melakukan pencarian sebab mutlak (tuhan atau alam) dan lebih
berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik dalam upayanya
menemukan hukum yang mengaturnya (Teori Sosiologi, George Ritzer & Douglas
J. Goodman Halaman 17).
2. Dinamika
Proses Evolusi Akal-Budi
Tidak semua
perkembangan pikiran berlangsung cepat dan lancar. Proses perkembangan akal-budi
ada yang berlangsung cepat ada pula yang lambat. Perkembangan berlangsung cepat
apabila dibidang itu cenderung lebih sederhana dan bersifat universal.
Contohnya saja matematika yang merupakan pengetahuan paling sederhana dan
bersifat universal. Oleh karena itu pengetahuan itu berkembang pesat. Berbeda
halnya dengan bidang ilmu pengetahuan lain yang rumit dan bersifat fenomin.
Contohnya pengetahuan yang mengkaji mengenai kematian, kelahiran, cuaca,
bencana dan sebagainya, yang sulit dijelaskan pada zaman teologi dan metafisik
karena cara berpikir masyarakat yang masih berpusat pada tuhan atau dewa.
Pengetahuan ini membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa diakui di
masyarakat. Dalam buku realitas sosial dijelaskan bahwa inti ajaran Comte yaitu
sejarah pokoknya adalah proses perkembangan bertahap dari cara manusia berfikir
dan proses ini bersifat mutlak, universal, dan tak terelakkan. Teori evolusi
Comte tidak menganut determinisme yang radikal walaupun ia berpendapat bahwa
proses evolusi akal budi serta pemantulannya oleh masyarakat berjalan terus dan
pasti mencapai tujuannya, namun menurut dia manusia masih juga memainkan
peranan bebas. Oleh peranan manusia dapat mempercepat atau memperlambat
datangnya zaman baru. Selain itu, manusia dapat mengadakkan variasi tiga faktor
yang disebut berpengaruh atas adanya variasi yaitu suku bangsa, iklim dan
strategi. Namun demikian semakin manusia menyadari bahwa hukum evolusi bersifat
pasti, dan mendukungnya , semakin cepat masyarakat baru akan terwujud.
3. Masyarakat
Positivis adalah Masyarakat Industri
Masyarakat
bukanlah benda mati, masyarakat akan selalu berkembang dan bergerak menjadi
semakin maju. Masyarakat yang tidak puas atas zaman teologis dan metafisik akan
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang segala fenomena yang terjadi
disekitar mereka. Dengan melakukan percobaan, serta menguji fenomena maka akan
muncul jawaban yang ilmiah dan menggantikan jawaban mutlak seperti “kuasa
Tuhan” atau “nasib”. Seperti yang
dikatakan Comte, zaman positivisme akan menggantikan teologis dan metafisik
serta menjadikan dunia ini menjadi lebih baik karena mendasarkan segala sesuatu
dengan hal-hal yang ilmiah dan rasional.
Zaman berburu
dan meramu, maupun sistem produksi tradisional berganti menjadi zaman modern dengan
ditemukannya mesin-mesin yang mempermudahkan pekerjaan manusia. Dari
positivisme lahirlah masyarakat industri karena pengetahuan semakin berkembang.
Berubahnya masyarakat menjadi masyarakat industri mempengaruhi antagonisme
kelas dan kemiskinan kaum buruh karena sistem ekonomi yang berkembang yaitu
sistem ekonomi liberal. Comte membenarkan hal milik perseorangan atas
sarana-sarana produksi, juga hak untuk mengumpulkan kekayaan besar. Menurut
dia, antagonisme kelas dan kemiskinan kaum buruh hanyalah efek samping dari
sistem ekonomi liberal. Namun, bukan berarti Comte menyetujui persaingan liar
yang tak terkendali , dan kebebasan mutlak di bidang ekonomi. Karl Marx tidak
setuju dengan sistem ekonomi liberal. Menurut dia, terjadinya antagonisme kelas
dan kemiskinan merupakan hal yang kronis dan harus segera diperbaiki.
Comte
berpendapat tentang etika sosial yang merupakan sarana terbaik utuk mengatasi
masalah ini. Mengembangkan kesadaran moral merupakan hal yang penting untuk
menciptakan kolektivisme. Apabila kesadaran kolektivisme sudah dimiliki oleh
masyarakat, maka kestabilan ekonomi akan terjadi dan mengurangi antagonisme
kelas serta kemiskinan.
4. Statika
dan Dinamika Sosial
Statika sosial
yang dimaksud yaitu semua unsur struktural yang melandasi dan menunjang orde,
tertib, dan kestabilan masyarakat. Antara lain disebut: sistem perundangan,
struktur organisasi, dan nilai-nilai seperti keyakinan , kaidah, dan kewajiban
yang semuanya memberi bentuk yang kongkret dan mantap pada kehidupan bersama.
Statika sosial itu disepakati oleh anggota yang disebut volonte general
(kemauan umum). Mereka mengungkapkan hasrat kodrati manusia akan persatuan ,
perdamaian, dan kestabilan. Tanpa unsur-unsur struktural ini kehidupan bersama
tidak dapat berjalan.
Dinamika sosial
yang dimaksud yaitu semua proses pergolakan yang menuju perubahan sosial.
Dinamika sosial merupakan daya gerak sejarah yang pada setiap tahap evolusi
mendorong kearah tercapainya keseimbangan baru yang setara dengan kondisi dan
keadaan zaman. Pada abad ke 18 dinamika sosial yang paling menonjol dalam
perjuangan dan usaha untuk mengganti gagasan-gagasan agama yang lama dengan
konsep-konsep positif dan ilmiah yang baru.
Pada tahap
teologi masyarakat dihayati sebagai kehendak dewa. Pemerintahnya berstruktur
feodal atau parternalistis. Ekonominya bercorak “militaristis”artinya bahwa
orang tidak memproduksi barang kebutuhan mereka tetapi memetik atau meramu
hasil bumi. Tahap metafisika mengakibatkan kemunduran agama, terlihat dari
adanya revolusi dan perombakan atas kehidupan bersama yang tradisional. Tahap
positifisme membangun kembali suatu orde yang kokoh-kuat dimana peranan agama
dan filsafat diambil alih oleh ilmu pengetahuan positif yang tangguh dan
universal.
Comte telah
menyaksikan krisis sosial yang hebat, disebabkan oleh benturan antara
masyarakat tradisi dengan masyarakat industri baru. Kendati demikian ia
berkeyakinan bahwa masyarakat akan menjadi tertib kembali kalau suatu
kesepakatan tentang nilai-nilai baru akan tercapai.
5. Comte
sebagai pembaru agama
Perang yang
terus-menerus dan individualism yang berlarut di zaman post-revolusi di negeri
Perancis mencemaskan Comte. Semakin ia tua, semakin ia menyadari bahwa tingkah
laku manusia tidak berpangkal pada akal-budi, melainkan berasal dari hatinya. Dengan
“hati” dimaksudkan “perasaan dan kemauan”. Kedua unsur ini memainkan peranan
yang menentukan bagi perilaku dan sikap seseorang. Menurut hematnya, pendidikan
elektualistis terus-menerus dan bertujuan menambah pengetahuan saja, tanpa
adanya cintakasih dan motivasi, menghasilkan intelektualisme kering dan
rasionalisme mandul. Memang benar bahwa akal –budi bertindak sebagai penuntun
dan juru penerangan dalam perjalanan hidup. Tetapi, betapa penting dan perlu
juga fungsi ini, akal-budi manusia yang tidak menduduki tempat tertinggi. Hati
adalah daya manusia yang paling luhur. Dengan mengingat bahwa wanita mempunyai
perasaan yang paling halus, maka Comte mengagumi dan mengagungkan mereka.
Comte sangat
dikesankan oleh abad pertengahan. Bukan tahap evolusi akal-budi di zaman itu
mengesankan dia, tetapi pengintegrasian yang ditonjolkan antara nilai-nilai
rohani dengan nilai-nilai duniawi. Misalnya, lembaga keluarga tidak semata-mata
dianggap sebagai sumber sekuler saja, tetapi dianggap suci dan sakral juga.
Terdorong oleh keyakinannya bahwa hati manusia merupakan daya yang terutama, ia
melucuti angkatan bersenjata dari cita sakralnya, dan sebagai gantinya ia
memberi status sakral kepada kaum wanita. Ia meningkatkan status sosial mereka
dan meluhurkan peranan mereka dalam rumah- tangga. Ia menentang perceraian, ibu
Yesus dihormatinya. Melalui hormat kepada Bunda Maria ia menyatakan hormatnya
kepada semua ibu. Pada saat menjelang wafatnya para hadirin mendengar dia
berbisik “Ibu dari AnakMu”.
Comte menarik
kesimpulan, bahwa pengintegrasian kembali masyarakat atas dasar prinsip-prinsip
positivisme hanya mungkin dilaksanakan melalui agama gaya baru, yaitu agama
sekuler dengan lambangnya, upacaranya, hari-hari raya, dan orang “Kudus”-nya.
Hanya agama yang akan mampu menyemangati baik akal-budi maupun perasaan dan
kemauan. Oleh karena itulah, Comte dalam masa tuanya mendirikan agama baru itu.
Yang disembah sebagai Yang Mahatinggi bukan Allah, melainkan humanitas atau
manusia. kita harus mencintai humanitas. Dengan humanitas tidak dimaksudkan
semua orang, termasuk yang tidak becus dan jahat. Melainkan orang-orang terbaik
yang pernah dihasilkan sejarah dan masih hidup melalui karya dan pengaruh
mereka. Kita harus mencintai kemanusiaan mereka yang abadi. Menurut Comte cinta
inilah yang akan memulihkan keseimbangan dan pengintegrasian baik dalam diri
individu maupun dalam masyarakat. Cinta ini akan melahirkan pemerintahan sipil,
menjinakkan, dan mengendalikan tiap-tiap kekuasaan dunawi. Kata Marvin,
“masyarakat yang sedemikian rupa diatur, hingga prinsip-prinsip sosial
memainkan peranan paling penting, merupakan suatu sosiokrasi. Itulah sumbangan
istimewa Comte kepada dunia”. (Marvin, F.S., 1936: 195-196).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar