Selasa, 29 Desember 2015

Teori Sosiologi Emile Durkheim



 Teori Sosiologi Emile Durkheim
A.       Biografi Emile Durkheim
Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis 15 April 1858. Ia keturunan pendeta Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta. Sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang teologis (Mestrovic, 1988). Ia bukan hanya kecewa terhadap pendidikan agama, tetapi juga pendidikan masalah kesusastraan dan estetika. Ia juga mendalami metodologi ilmiah dan prinsip moral yang diperlukan untuk menuntun kehidupan sosial. Ia menolak karir tradisional dalam filsafat dan berupaya mendapatkan pendidikan ilmiah yang dapat disumbangkan untuk pedoman moral masyarakat. Meski kita tertarik pada sosiologi ilmiah tetapi waktu itu belum ada bidang studi sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat di sejumlah sekolah di Paris.
Hasratnya terhadap ilmu makin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt (Durkheim, 1887/1993). Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim menerbitkan sejumlah buku diantaranya adalah tentang pengalamannya selama di Jerman (R. Jones, 1994). Penerbitan buku itu membantu Durkheim mendapatkan jabatan di Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887. Di sinilah Durkheim pertama kali memberikan kuliah ilmu sosial di Universitas Perancis. Ini adalah sebuah prestasi istimewa karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan meledak di Universitas Perancis karena nama Auguste Comte muncul dalam disertasi seorang mahasiswa. Tanggung jawab utama Durkheim adalah mengajarkan pedagogik di sekolah pengajar dan kuliahnya yang terpenting adalah di bidang pendidikan moral. Tujuan instruksional umum mata kuliahnya adalah akan diteruskan kepada anak-anak muda dalam rangka membantu menanggulangi kemerosotan moral yang dilihatnya terjadi di tengah masyarakat Perancis.
Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh serentetan kesuksesan pribadi. Tahun 1893 ia menerbitkan tesis doktornya, The Devision of Labor in Society dalam bahasa Perancis dan tesisnya tentang Montesquieu dalam bahasa Latin (W. Miller, 1993). Buku metodologi utamanya, The Rules of Sociological Method, terbit tahun 1895 diikuti (tahun 1897) oleh hasil penelitian empiris bukunya itu dalam studi tentang bunuh diri. Sekitar tahun 1896 ia menjadi profesor penuh di Universitas Bordeaux. Tahun 1902 ia mendapat kehormatan mengajar di Universitas di Perancis yang terkenal, Sorbonne, dan tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu sangat terkenal lainnya, The Elementary Forins of Religious Life, diterbitkan pada tahun 1912. Kini Durkheim sering dianggap menganut pemikiran politik konservatif dan pengaruhnya dalam kajian sosiologi jelas bersifat konservatif pula. Tetapi dimasa hidupnya ia dianggap berpikiran liberal dan ini ditunjukkan oleh peran publik aktif yang dimainkannya dalam membela Alfred Drewfus, seorang kapten tentara Yahudi yang dijatuhi hukuman mati karena penghianatan yang oleh banyak orang dirasakan bermotif anti-yahudi (Farrel, 1997).
Durkheim merasa sangat terluka oleh kasus Dreyfus itu, terutama oleh pandangan anti-Yahudi yang melatarbelakangi pengadilannya. Namun Durkheim tidak mengaitkan pandangan anti-Yahudi ini dengan rasialisme di kalangan rakyat Perancis. Secara luas ia melihatnya sebagai gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Perancis sebagai keseluruhan (Bimbaum dan Todd, 1995). Ia berkata :
Bila masyarakat mengalami penderitaan maka perlu menemukan seorang yang dapat dianggap bertanggung jawab atas penderitaannya itu. Orang yang dapat dijadikan sebagai sasaran pembalasan dendam atas kemalangannya itu, dan orang yang menentang pendapat umum yang diskriminatif, biasanya ditunjuk sebagai kambing hitam yang akan dijadikan korban. Yang meyakinkan saya dalam penafsiran ini adalah cara-cara masyarakat menyambut hasil pengadilan Dreyfus 1894. keriangan meluap di jalan raya.  Rakyat merayakan kemenangan atas apa yang telah dianggap sebagai penyebab penderitaan umum. Sekurang-kurangnya mereka tahu siapa yang harus disalahkan atas kesulitan ekonomi dan kebejatan moral yang terjadi dalam masyarakat mereka; kesusahan itu berasal dari Yahudi. Melalui fakta ini juga segala sesuatu telah dilihat menjadi bertambah baik dan rakyat merasa terhibur (Lukes, 1972:345).
Perhatian Durkheim terhadap perkara Dreyfus berasal dari perhatiannya yang mendalam seumur hidupnya terhadap moralitas modern. Menurut Durkheim, jawaban atas perkara Dreyfus dan krisis moral seperti itu terletak di akhir kekacauan moral dalam masyarakat. Karena perbaikan moral itu tak dapat dilakukan secara cepat dan mudah, Durkheim menyarankan tindakan yang lebih khusus, seperti menindak tegas orang yang mengorbankan rasa benci terhadap orang lain dan pemerintah harus berupaya menunjukkan kepada publik bahwa menyebarkan rasa kebendaan itu adalah perbuatan menyesatkan dan terkutuk. Ia mendesak rakyat agar “mempunyai keberanian untuk secara lantang menyatakan apa yang mereka pikirkan dan bersatu untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan menentang kegilaan publik (Lukas, 1972:347).
Tetapi minat Durkheim terhadap sosialisme juga dijadikan bukti bahwa ia menentang pemikiran yang menganggapnya seorang konservatif, meski jenis pemikiran sosialismenya sangat berbeda dengan pemikiran Marx dan pengikutnya. Durkheim sebenarnya menamakan Marxisme sebagai “seperangkat hipotesis yang dapat dibantah dan ketinggalan zaman” (Lukes, 1972:323). Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan gerakan yang diarahkan pada pembaharuan moral masyarakat melalui moralitas ilmiah dan ia tak tertarik pada metode politik jangka pendek atau pada aspek ekonomi dari sosialisme. Ia tak melihat proletariat sebagai penyelamat masyarakat dan ia sangat menentang agitasi atau tindak kekerasan. Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan sebuah sistem dimana didalamnya prinsip moral ditemukan melalui studi sosiologi ilmiah di tempat prinsip moral itu diterapkan.
Durkheim berpengaruh besar dalam pembangunan sosiologi, tetapi pengaruhnya tak hanya terbatas di bidang sosiologi saja. Sebagian besar pengaruhnya terhadap bidang lain tersalur melalui jurnal L’annee Sociologique yang didirikannya tahun 1898. Sebuah lingkaran intelektual muncul sekeliling jurnal itu dan Durkheim berada dipusatnya. Melalui jurnal itu, Durkheim dan gagasannya mempengaruhi berbagai bidang seperti antropologi, sejarah, bahasa dan psikologi yang agak ironis, mengingat serangannya terhadap bidang psikologi.
Durkheim meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis tersohor. Tetapi, karya Durkheim mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya The Structure of Social Action (1973) karya Talcott Parsons.
B.  Pembagian Kerja
            The Division of Labor Society  (Durkheim,1893/1964) dikenal sebagai karya sosiologi klasik pertama. Dalam buku ini, Durkheim menggunakan ilmu sosiologi barunya  untuk meneliti sesuatu yang sering dilihat sebagai krisis moralitas. Krisis moral dibahas menggunakan metode positivistik.
            Krisis moral muncul karena adanya Revolusi Prancis yang membuat orang-orang untuk mengutamakan hak-hak individual yang sering mengekspresikan diri sebagai serangan terhadap otoritas tradisional dan keyakinan religius. Hal ini menimbulkan ketidakteraturan di masyarakat. Hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain tidak berjalan dengan baik. Karena mereka memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan kehidupan bermasyarakat.
            Setelah adanya Revolusi, Prancis telah merasakan tiga monarki, dua emporium, dan tiga republik. Rezim-rezim tersebut ditopang oleh empat belas konstitusi. Prussia mengalahkan Prancis pada tahun 1870. Keadaan ini memperumit krisis moral. Peristiwa tersebut juga diikuti oleh revolusi singkat dan penuh darah Paris Commune. Revolusi ini disinyalir sebagai penyebab munculnya persoalan-persoalan individualisme.
            Menurut Auguste Comte masalah ini bisa ditelusuri ke dalam peningkatan pembagian kerja. Dalam masyarakat sederhana, mereka pada dasarnya melakukan pekerjaan yang sama. Sehingga mereka memiliki pengalaman dan nilai yang sama. Pada masyarakat modern, setiap orang memiliki pekerjaan yang berbeda. Mereka meiliki pengalaman dan nilai yang berbeda. Hal ini yang merusak kepercayaan moral bersama yang sangat penting di masyarakat. Orang menjadi egois dan tidak mau berkorban demi orang lain. Comte berpendapat bahwa sosiologi akan menjadi “semacam” agama baru yang akan mengembalikan kohesi sosial. Namun, sampai taraf tertentu, The Division of Labor in Society justru bisa dilihat sebagai penyangkalan terhadap analisis Comte. Durkheim berpendapat bahwa pembagian kerja yang tinggi bukannya menandai keruntuhan moral sosial, melainkan melahirkan moralitas sosial jenis baru.
            Tesis The Divison of Labor in Society adalah bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar bergantung satu sama lain. Fungsi ekonomis yang dimainkan oleh pembagian kerja menjadi tidak penting dibandingkan dengan efek moralitas yang dihasilkannya. Maka fungsi sesungguhnya dari pembagian kerja adalah unuk menciptakan solidaritas antara dua orang atau lebih.

C.       Fakta Sosial
Untuk memisahkan sosiologi dari filsafat dan memberinya kejelasan serta identitas tersendiri, Durkheim (1895/1982) menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi haruslah berupa studi atas fakta sosial (lihat Gane, 1988; Gilbert,1994; dan edisi spesial sociological perspectives 1995). Secara singkat, fakta sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di luar dan memaksa actor.
Hal yang penting dalam pemisahan sosiologi dari filsafat adalah ide bahwa fakta sosial dianggap sebagai “sesuatu” (S. Jones, 1996) dan dipelajari secara empiris. Artinya, bahwa fakta sosial mesti dipelajari dengan perolehan data dari luar pikiran kita melalui observasi dan eksperimen.
Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual. (Durkheim, 1895/111982: 13).
Hal itu menunjukkan bahwa Durkheim memberikan definisi agar sosiologi terpisah dari ilmu filsafat dan psikologi. Durkheim berpendapat bahwa fakta sosial tidak bisa direduksi kepada individu, namun mesti di pelajari sebagai realitas mereka. Durkheim menyebut fakta sosial dengan  istilah latin sui generis, yang berarti “unik”. Durkheim menggunakan istilah ini untuk menjelaskan bahwa fakta sosial memiliki karakter unik yang tidak bisa direduksi menjadi sebatas kesadaran individual. Jika fakta sosial dianggap bisa dijelaskan dengan merujuk pada individu, maka sosiologi akan tereduksi menjadi psikologi.
Durkheim sendiri memberikan beberapa contoh tentang fakta sosial , termasuk aturan legal, beban moral, dan kesepakatan sosial. Dia juga memasukan bahasa sebagai fakta sosial, dan menjadikannya contoh yang paling mudah dipahami. Pertama karenakan bahasa adalah “sesuatu” yang mesti dipelajari secara empiris. Kedua bahasa adalah sesuatu yang berada di luar individu. Meskipun individu menggunakan bahasa, namun bahasa tidak dapat didefinisikan atau diciptakan oleh individu. Ketiga, bahasa memaksa individu. Bahasa dapat membuat sesuatu itu sulit dikatakan. Terakhir, perubahan dalam bahasa dapat dipelajari dengan fakta sosial lain dan tidak bisa hanya keinginan individu saja.
Sebagian sosiologo berpendapat bahwa Durhkeim terlalu mengambil posisi yang ekstrem dalam hal ini. sebab ia terlalu membatasi sosiologi hanya pada fakta sosial saja. Padahal ada banyak cabang-cabang dalam sosiologi. Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial material dan non material. Fakta sosial material seperti gaya arsitektur bentuk teknologi, dan hukum dan perundang-undangan, relatif mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Lebih penting lagi, fakta sosial material tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berrada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nin material.
Studi Durkheim yang paling penting dan inti dari sosiologi terletak pada studi fakta sosial nonmaterial. Durkheim mengungkapkan : “tidak semua kesadaran sosial mencapai ... eksternalisasi dan materialisasi” (1897/1951: 315). Apa yang saat ini disebut norma dan nilai, atau budaya oleh sosiolog secara umum (Alexander, 1988c) adalah contoh yang tepat untuk apa yang disebut Durkheim dengan fakta sosial nonmaterial. Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nn material memiliki batasan tertentu, ia ada dalam individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri (Durkheim, (1912) 1965: 471). Dalam karya yang sama durkheim menulis: pertama, bahwa “hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia; mereka adalah produk aktivitas manusia” dan kedua Masyarakat bukan hanya semata-mata kumpulan sejumlah individu.masyarakat akan hanya bisa dipahami dengan interaksi bukan individu. Interaksi nonmaterial juga memiliki tingkatan-tingkatan realitasnya sendiri. Inilah yang disebut “realisme relasional” (Alpert, 1939).
Durkheim melihat fakta sosial berada di sepanjang kontinum hal-hal yang material. Durkheim menyebut ini dengan fakta morfologis, dan semua itu termasuk hal yang paling penting dalam buku pertamanya, The Division of Labor.
Jenis-jenis Fakta Sosial Nonmaterial:
a.       Moralitas.
Persperktif durkheim mengenai moralitas: pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada diluar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya pada kesehatan moral kesehatan moral masyarakat modern.
Dalam pandangan Durkheim, orang selalu terancam kehilangan ikatan moral, dan hal ini dinamakan “patologi”. hal tersebut penting bagi Durkheim karena tanpa itu individu akan diperbudak oleh nafsu yang tidak pernah puas. Seseorang akan didorong oleh nafsu mereka ke dalam kegilaan untuk mencari kepuasan namun setiap kepuasan akan menuntut lebih dan lebih. Jika masyarakat tidak membatasi kita maka kita akan menjadi budak kesenagan yang selalu meminta lebih. Sehingga Durkheim memegang pandangan bahwa individu membutuhkan moralitas dan kontrol dari luar untuk bebas. Pandangan hasrat yang tidak pernah puas ini ada pada setiap manusia adalah inti dari sosiologi Durkheim.
b.      Kesadaran kolektif.
Durkheim mencoba mewujudkan perhatiannya pada moralitas dengan berbagai macam cara dan konsep. Usaha awalnya untuk menaangani persoalan ini adalah dengan mengembangkan ide tentang kesadaran kolektif. Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut: seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular.
Dari hal itu jelas bahwa Durkheim berpendapat kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Hal yang lain bahwa kesadaran kolektif sebagai sesuatu yang terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial. Hal terakhir dari pendapatnya bahwa kesadaran kolektif baru bisa “terwujud’ melalui kesadaran-kesadaran indivisual.
Durkheim menggunakan konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama lebih daripada masyarakat modern.
c.       Representasi Kolektif
Kesadaran kolektif tak dapat dipelajari secara langsung karena sesuatu yang luas dan gagasan yang tidak memiliki bentuk yang tetap. Sehingga perlu didekati dengan relasi fakta sosial material. Contoh dari representasi kolektif ialah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semua yang tersebut itu adalah cara-cara dimana masyarakat merefleksikan dirinya.
Representasi kolektif tidak dapat direduksi kepada individu-individu karena ia muncul dari interaksi sosial dan hanya dapat dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau praktek seperti ritual. Contoh dari representasi ialah mengenai perubahan yang dialami Abraham Lincoln dalam menanggapi fakta-fakta sosial lain. Ia mengalami kejayaan yang memuncak dan ditahun lain ia memperlihatkan kemerosotan martabatnya.
d.      Arus sosial
Sebagian besar fakta sosial yang dirujuk emile Drukheim sering diasosiasikan dengan organisasi sosial. Namun dia menjelaskan bahwa fakta sosial tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas”. Durkheim menyebutnya arus sosial. Dia mencontohkan dengan “luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan”. Fakta-fakta sosial nonmaterial bahkan bisa memengaruhi institusi yang paling kuat sekalipun. Hal ini dicontohkan pada konser rock yang terjadi di Erropa timur. Konser rock merupakan tempat muncul dan berseminya standar buadaya, fashion. Dan gejala perilaku yang lepas kntrol partai. Dengan kata lain kepemimpinan politik takut pada konser rock karena berpotensi menekan perasaa  individu dari alienasi menjadi motivasi keterasingan sebagai fakta sosial.
e.       Pikiran kelompok
Arus sosial dapat dilihat sebagai serangkaian makna yang disepakati dan dimiliki bersama oleh seluruh anggota kelompok. Karena itu arus sosial tidak bisa dijelaskan berdasarkan suatu pikiran individual. Arus sosial juga tidak bisa dijelaskan secara intersubjektif yaitu berdasarkan interaksi antar individu. Arus sosial hanya akan tampak pada level interaksi bukan individu.
Kenyataannya ada kesamaan yang kuat antara teori fakta sosial  dari Durkheim dengan teori mutakhir tentang hubungan otak dengan pikiran individu. Keduanya sama-sama menggunakan gagasan bahwa sistem yang kompleks akan terus berubahdan menunjukkan ciri-ciri baru.
Durkheim juga memiliki pemahaman modern tentang fakta sosial nonmaterial yang mengandung norma, nilai, budaya, dan berbagai fenomena psikologis sosial bersama.

D.       Teori Solidaritas
The Division of Labor in Society (Durkheim, 1893/1964;Gibbs,2003) telah disebut sebagai karya klasik pertama sosiologi. Di dalam karya tersebut, Durkheim mengamati perkembangan relasi modern di antara para individu dan masyarakat. Konsep-konsep dalam The Division of Labor di lanjutkan Durkheim dalam The Rules of Sociological Method (1895). Solidaritas sosial di pandang sebagai perpaduan kepercayaan dan perasaan yang di miliki para anggota suatu masyarakat tertentu.  Berdasarkan analisis Durkheim, persoalan tentang solidaritas di kaitkan dengan sanksi yang di berikan kepada warga yang melanggar peraturan dalam masyarakat. Bagi Durkhem indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanis adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum dalam masyarakat yang bersifat menekan (represif).
Hal-hal yang menyebabkan perubahan solidaritas dalam masyarkat:
a.       Dinamika Penduduk
Perubahan solidaritas mekanis menjadi solidaritas organis disebabkan oleh dinamika penduduk. Semakin banyak orang berarti makin meningkatnya kompetisi memperebutkan sumberdaya yang ada. Semakin banyaknya orang juga menyebabkan semakin meningkatkan jumlah interaksi. Berarti, mereka bersaing untuk bertahan di antara komponen-komponen yang ada di masyarakat. Pembagian kerja di dalam masyarakat merupakan hal yang baik. Karena dengan adanya pembagian kerja, anggota masyarakat bisa saling melengkapi. Selain itu, juga dapat meningkatkan sumber daya, dan menciptakan kompetsi secara damai.
Dalam masyarakat dengan solidaritas organis, kompetisi yang kurang dan diferensiasi yang tinggi memungknkan orang bekerja sama dan sama-sama ditopang oleh sumber daya yang sama. Diferensiasi justru menciptakan ikatan yang lebih erat dari pada persamaan. Masyarakat dengan solidaritas organis membentuk ikatan yang solid dan individual daripada masyarakat dengan solidaritas mekanis. Individualitas tidak menyebabkan kehancuran suatu katan tetapi memperkuat ikatan tersebut.
b.      Hukum Represif dan Resitutif
Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dengan solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif. Karena masyarakat seperti itu memiliki kesaman norma dan moralitas bersama. Apabila ada individu melanggar maka seluruh anggota masyarakat merasakan dampak dari pelanggaran tersebut. Maka pelanggar tersebut akan dihukum atas pelanggaran tersebut sistem moral kolektif. Biasanya hukuman yang diterapkan sangat berat walaupun pelanggaran yang dilakukan sangat kecil. Misalnya, apabila ada dua orang berzina, maka mereka dihukum rajam.
Sebaliknya, masyarakat dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif. Seseorang yang melanggar mesti melakukan restitusi untuk kejahatan mereka. Pelanggaran yang terjadi dilihat sebagai serangan terhadap individu atau segmen lain, bukan terhadap sistem moral. Para pelanggar dalam masyarakat organis akan dituntut untuk membuat restitusi untuk siapa saja yang telah diganggu oleh perbuatan meraka.
c.       Normal dan Patologi
Durkheim berpendapat bahwa sosiolog mampu membedakan masyarakat sehat dan masyarakat patologis. Kriteria masyarakat sehat adalah masyarakat tersebut memiliki kondisi yang sama dalam masyarakat lain yang sedang berada pada level yang sama. Jika masyarakat tidak berada dalam kondisi yang biasanya mesti dimilikinya, maka bisajadi masyarakat itu sedang mengalami patologi. Menurut Durkheim, kriminal adalah sesuatu yang normal dan bukan pantologis. Kriminal mendorong masyarakat mendefinisikan dan membuktikan kesadaran kolektivitas mereka. Durkheim menggunakan ide patologi untuk mengkritik beberapa bentuk abnormal yang ada dalam pembagian kerja masyarakat modern. Terdapat tiga bentuk pembagian kerja abnormal.
1)      Pembagian kerja anomik, yaitu tidak adanya regulasi dalam masyarakat yang menghargai individualitas yang terisolasi dan tidak mau memberitahu masyarakat tentang apa yang harus mereka kerjakan. Masyarakat modern selalucenderung melakukan anomi, namun akan mencuat ke permukaan manakala terjadi krisis sosial dan ekonomi.
2)      Pembagian kerja yang dipaksakan, hal ini merujuk pada fakta bahwa norma yang ketinggalan zaman dan harapan-harapan bisa memaksa individu, kelompok, dan kelas masuk ke dalam posisi yang tidak sesuai bagi mereka.
3)      Pembagian kerja yang terkoordinasi dengan buruk, fungsi-fungsi khusus yang dilakukan oleh orang yang berbeda-beda tidak diatur dengan baik. Solidaritas organis berasal dari kesalingketergantungan antarmereka. Jika spesialsasi seseorang tidak lahir dari kesalingketergantungan yang makin meningkat, melainkan dalam isolasi, maka pembagian kerja tidak akan terjadi di dalam solidaritas sosial.
d.      Keadilan
Masyarakat modern tidak disatukan oleh pengalaman dan kepercayaan bersama, melainkan perbedaan yang terdapat di dalamnya, sejauh perbedaan tersebut mendorong perkembangan tempat terjadinya kesalingtergantungan. Maka yang paling berpengaruh adalah keadilan sosial.
1.      Solidaritas mekanis
Solidaritas mekanis ini, terjadi dalam masyarakat yang memiliki ciri khas keseragaman pola-pola relasi sosial, memiliki latar belakang pekerjaan yang sama dan kedudukan semua anggota. Apabila nilai-nilai budaya yang melandasi relasi mereka, dapat menyatukan mereka secara menyeluruh. Maka akan memunculkan ikatan sosial yang kuat dan di tandai dengan munculnya identitas sosial yang kuat pula. Individu menyatukan diri dalam kebersamaan, sehingga tidak ada aspek kehidupan yang tidak diseragamkan oleh relasi-relasi sosial yang sama. Individu melibatkan diri secara penuh dalam kebersamaan pada masyarakat. Karena itu, tidak terbayangkan bahwa hidup mereka masih dapat berlangsung apabila salah satu aspek kehidupan di pisahkan dari kebersamaan.
Solidaritas mekanis menunjukan berbagai komponen atau indikator penting. Contohnya yaitu, adanya kesadaran kolektif yang di dasarkan pada sifat ketergantungan individu yang memiliki kepercayaan dan pola  normatif yang sama. Individualitas tidak berkembang karena di hilangkan oleh tekanan aturan atau hukum yang bersifat represif. Sifat hukuman cenderung mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul atas penyimpangan atau pelanggaran kesadaran kolektif dalam kelompok sosialnya.
Singkatnya, solidaritas mekanis di dasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) yang di lakukan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total di antara para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik bahkan kepercayaan atau agama.
2.      Solidaritas organis
Solidaritas organis terjadi di masyarakat yang relatif kompleks dalam kehidupan sosialnya namun terdapat kepentingan bersama atas dasar tertentu. Pada kelompok sosialnya, terdapat ciri-ciri tertentu, yaitu :
a)      Adanya pola antar-relasi yang parsial dan fungsional
b)      Terdapat pembagian kerja yang spesifik,
c)      Adanya perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan sebagainya.
Perbedaan pola relasi-relasi dapat membentuk ikatan sosial dan persatuan melalui pemikiran yang membutuhkan kebersamaan serta diikat dengan kaidah moral, norma, undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat universal. Karena itu, ikatan solidaritas tidak lagi menyeluruh, melainkan terbatas pada kepentingan bersama yang bersifat parsial.
Solidaritas organis muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini di dasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Ketergantungan ini di akibatakan karena spesialisasi yang tinggi di antara keahlian individu. Spesialisasi ini juga sekaligus mengurangi kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis. Akibatnya, kesadaran dan homogenitas dalam kehiduan sosial tergeser. Keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu, munculah ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Menurut Durkheim itulah pembagian kerja yang mengambil alih peran yang semula di dasarkan oleh kesadaran kolektif.
Contoh dalam solidaritas organis ialah perusahaan dagang. Alasan yang mempersatukan organisasi itu kemungkinan besar ialah motivasi-motivasi anggotanya. Keinginan mereka akan imbalan ekonomi yang akan di terima atas partisipasinya, dan di dalam organisasi dagang masing-masing anggotanya akan merasa tergantung satu dengan yang lain. Misalnya dalam suatu pabrik, ada kecenderungan orang berada di mesin teknisi, pengawas, penjual, orang yang memegang pembukuan, sekretaris, dan seterusnya. Semua kegiatan mereka memiliki hubungan spesialisasi dan saling ketergantungan. Sehingga sistem tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi berdasarkan pada saling ketergantungan.
Contoh lainnya yaitu dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis, proses perubahan kepemimpinan di lakukan secara turun temurun dari kepala suku atau etua adat. Berbeda dengan masyarakat organis proses suksesi kepemimpinan di lakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat atau individu. Contohnya seperti pemilihan umum presiden dan wakil presiden di Indonesia melalui Pemilu yang melibatkan seluruh warga Negara Indonesia.
Agar lebih jelasnya berikut ini adalah perbedaan solidaritas mekanis dan solidaritas organis :
Solidaritas Mekanis
Solidaritas Organis
Relatif berdiri sendiri (tidak bergantung pada orang lain) dalam keefisienan kerja.
Saling keterkaitan dan mempengaruhi dalam keefisienan kerja.
Terjadi di masyarakat sederhana.

Di langsungkan oleh masyarakat yang kompleks.
Ciri dari masyarakat tradisional           (pedesaan)
Ciri dari masyarakat modern (perkotaan).
Kerja tidak terorganisir
Kerja terorganisir dengan baik.
Beban lebih berat
Beban ringan.
Tidak bergantung dengan orang lain
Banyak saling bergantungan dengan yang lain

Dapat di simpulkan bahwa solidaritas mekanis di bentuk oleh masyarakat yang masih memiliki kesadaran kolektif yang sangat tinggi, kepercayaan yang sama, cita-cita dan komitmen moral. Masyarakat yang menggunakan solidaritas mekanis, mereka melakukan aktifitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama.
Sebaliknya, solidaritas organis di bentuk karena semakin banyak dan beragamnya pembagian kerja. Sehingga pembagian kerja tersebut membuat spesialisasi pekerjaan di dalam masyarakat yang menyebabkan kesadaran kolektif menjadi menurun. Semua kegiatan spesialisasi mereka berhubungan dan saling tergantung satu sama lain, sehingga sistem tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi didasarkan pada saling ketergantungan.
E.        Fenomena Bunuh Diri
Dalam bukunya yang kedua Suicide, dikemukakan dengan jelas, hubungan antara pengaruh integrasi sosial dan kecenderungan orang melakukan bunuh diri. Tujuannya dalam studi kali ini, selain untuk berkontribusi terhadap pemahaman persoalan sosial, juga untuk menunjukan sebuah kekuatan disiplin sosiologi. Durkheim ingin mengetahui pola atau dorongan sosial dibalik tindakan bunuh diri yang terlihat sepintas merupakan tindakan yang sangat individual. Dan dengan pendekatan disiplin sosiologi yang baru ini, ia percaya dapat memperluas ranah sosiologi kepada fenomena-fenomena lain yang terbuka bagi analisis sosiologi.
Durkheim tidak mempelajari mengapa seseorang melakukan bunuh diri. Karena itu adalah wilayah studi psikologi. Perhatiannya adalah menjelaskan perbedaan angka bunuh diri dari beberapa negara. Ia memiliki asusmsi mengenai fakta sosial yang melatarbelakangi fenomena bunuh diri ini sekaligus kenapa suatu kelompok memiliki angka bunuh diri yang lebih itnggi. Durkheim menggunakan dua cara yang saling berhubungan untuk mengevaluasi angka bunuh diri. Pertama dengan membandingkan suatu tipe masyarakat atau kelompok dengan tipe lain.  Kedua, dengan melihat perubahan angka bunuh diri dalam sebuah masyarakat atau kelompok dalam rentang waktu tertentu. Jika ada perbedaan dalam angka bunuh diri antara suatu kelompok dengan kelompok lain atau dari suatu periode dengan periode yang lain, maka menurut Durkheim perbedaan tersebut adalah akibat dari perbedaan faktor-faktor sosial atau arus sosial.
Dengan angka-angka statistik dari hasil penelitiannya di beberapa negara, dia menunjukan penolakannya terhadap teori-teori lama tentang bunuh diri tersebut. Kalau kemiskinan, menurut Durkheim, kenyataannya orang-orang dari lapisan atas(kaya) justru lebih tinggi tingkat bunuh dirinya dbanding dengan orang-orang dari lapisan bawah(miskin). Hal itu ditunjukannya dengan mengatakan bahwa di negara-negara miskin di Eropa seperti Italia dan Spanyol, justru memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang lebih makmur, seperti Prancis, Jerman,dan negara-negara Skandinavia. Lalu Durkheim menambahkan bahwa, jika diselidiki, sebenarnya ada pola yang lebih teratur dari pada sebab-sebab serta penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh teori-teori terdahulu mengenai bunuh diri. Angka bunuh diri yang ditunjukan dari suatu kelompok atau masyarakat bersumber pada keadaan masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, bunuh diri harus dipelajari dengan menghubungkanya dengan struktur sosial dari masyarakat atau negara yang bersangkutan, kata Durkheim.
Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.

Empat Jenis Bunuh Diri Menurut Durkheim:
Teori bunuh diri Durkheim bisa dilihat lebih jelas jika kita mencermati hubungan jenis-jenis bunuh diri dengan dua fakta sosial utamanya, yaitu Integrasi dan Regulasi. Integrasi  condong berarti kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat. Regulasi condong berarti tingkat paksaan eksternal yang dialami individu. Menurut Durkheim, dua arus sosial tersebut adalah variabel yang saling berkaitan dan angka bunuh diri meningkat ketika salah satu arus menurun dan yang lain meningkat. Jika integrasi meningkat, Durkheim mengelompokkanya menjadi bunuh diri Altruis. Jika integrasi menurun, akibatnya dalah peningkatan bunuh diri egoistis. Bunuh diri fatalistis berkaitan dengan regulasi yang tinggi, sementara bunuh diri anomik adalah rendahnya regulasi.

Arus Sosial
Tingkat
Jenis Bunuh Diri
Integrasi
Tinggi
Altruistis
Rendah
Egoistis
Regulasi
Tinggi
Anomik
Rendah
Fatalistis

1.      Bunuh Diri Egoistis
Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok dimana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini menimbulkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarkat dan masyarkat bukan pula sebagai bagian dari individu. Lemahnya integrasi melahirkan suatu arus sosial yang khas, dan arus tersebut memunculkan angka bunuh diri. Misalnya, Durkheim berbicara tentang disintegrasi masyarakat yang melahirkan “arus depresi dan kekecewaan”. Sebaliknya, kelompok yang memiliki integrasi yang kuat akan mencegah terjadinya bunuh diri. Arus sosial yang melindungi dan mengayomi yang lahir dari masyarkat akan mencegah terjadinya bunuh diri egoistis, diantaranya, memberikan seseorang makna hidup dalam pengertian yang lebih luas.
Agama melindungi manusia dari keinginan untuk menganiaya dirinya sendiri…. Yang membentuk agama adalah keberadaan sejumlah kepercayaan dan praktik tertentu yang dianut dan dilakukan bersama oleh sekelompok orang beriman, yang diwarisi turun temurun dan oleh karena itu bersifat mewajibkan. Makin banyak dan kuat kerangka berpikir semacam ini, maka semakin kuat pulalah integrasi di dalam kelompok keagamaan tersebut dan nilai-nilai yang mempertahankanya juga makin besar.
(Durkheim, 1897/1951: 170)

Seperti yang telah dijelaskan Durkheim diatas, Agama mencegah manusia untuk bunuh diri, akan tetapi tak semua agama memberikan tingkat perlindungan yang sama terhadap bunuh diri. berikut adalah table perbandingan angka bunuh diri yang berbeda dari negara-negara penganut agama Katolik, Protestan, dan Katolik orthodox.

Negara Protestan
Negara Roma Katolik
Negara Katolik Mayoritas
Negara Katolik Ortodox
Laju bunuh diri
(1:1 juta orang)
190
90
58
40

Jawaban Durkheim atas perbedaan itu adalah bahwa sebab dari perbedaan angka bunuh diri antara penganut agama  Protestan dan Katolik adalah terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh kedua agama tersebut kepada penganutnya. Kebebasan yang lebih diberikan agama protestan dalam mempelajari sendiri hakekat ajaran kitab suci, oleh karena itu kepercayaan bersama orang-orang protestan menjadi berkurang. Setiap orang berhak memiliki tafsir yang berbeda, sehingga dari situ integrasi yang dimiliki oleh masyarkat protestan lebih rendah dari pada masyarkat katolik. Begitu pula sebaliknya dengan masyarkat katolik. Akhirnya angka bunuh diri yang terdapat pada masing-masing masyarakat penganut agama berbeda karena integrasi dalam agama yang berbeda pula.

2.      Bunuh Diri Altruistis
Bunuh diri Altruistis terjadi ketika integrasi sosial yang ada di dalam masyarakat menguat. Dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Contoh dari bunuh diri ini adalah bunuh diri harakiri dan sepukku dalam masyarakat jepang, keyakinan mati syahid oleh seorang teroris, dan lain sebagainya. Secara umum, orang melakukan bunuh diri altruistis karena mereka merasa itu adalah tugas mereka demi sebuah kebaikan yang mereka yakini. Seorang individu dalam masyarakat yang integrasi sosialnya tinggi akan merasa membawa aib bagi kesatuanya meski hanya karena kesalahan sepele dan mereka bisa lebih memilih bunuh diri.

3.      Bunuh Diri Anomik
Bunuh diri ini terjadi saat kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Hal ini bisa muncul karena lemahnya kontrol sosial yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat sebagai pengatur nafsu mereka yang tak terbatas. Anomi sendiri merupakan suatu keadaan tanpa norma yang memungkinkan seseorang merasa tidak mempunyai norma dan aturan yang membimbing mereka sehari-hari. Selanjutnya, mereka juga merasa tidak mempunyai apa-apa dan tempat untuk ditinggali. Mereka yang mungkin merasakan situasi anomi adalah tunawisma dan yatim piatu.

4.      Bunuh Diri Fatalistik
Bunuh diri ini disebabkan oleh situasi yang merupakan kebalikan dari anomi. Tingkat regulasi yang sangat tinggi dapat menyebabkan seorang melakukan bunuh diri. Terdapat kontrol yang berlebihan dari suatu pihak yang kuat terhadap pihak yang lebih lemah dalam suatu struktur masyarkat. Durkheim mengatakan keadaan itu saat seseorang merasa masa depanya telah tertutup dan nafsu yang  tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh bunuh diri ini adalah seorang budak yang lebih baik membunuh dirinya sendiri dari pada merasakan kontrol yang berlebihan dalam hidupnya.

F.        Sosiologi Agama
Agama menurut Durkheim adalah “ an unfied system of belief and practices relative to sacred things”, dan selanjutnya ditambahkan pula “that is to say, things set apart and forbidden – belief and practice wich unite into one single moral community called curch all those who adhare to them”. Asal mula agama menurut Durkheim adalah berasal dari masyarakat sendiri. Setiap masyarakat selalu membedakan sesuatu yang dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawiah. Durkheim tidak percaya tentang realitas supranatural apapun yang menjadi sumber perasaan agama tersebut. Namun, kebenaran ada suatu kekuatan moral yang superior yang member inspirasi kepada pengikut, dan kekuatan itu adalah masyarakat, bukan Tuhan. Masyarakat merupakan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan kita. Ia melampaui kita, menuntut pengorbanan kita, menekan sifat egois kita, dan mengisi kita dengan energi. Dan apa yang menjadi pendapat dasar Durkheim adalah bahwa agama merupakan perwujudan dari Collective Consciousness atau kesadaran kolektif.
Selain adanya yang sakral dan yang profane terdapat tiga persyaratan lain yang dibutuhkan bagi keberadaan agama. Pertama Kepercayaan, yang diartikan Durkheim sebagai representasi yang mengekspresikan hakikat hal yang sakral dan hubungan yang mereka miliki, baik dengan sesame hal sakral atau dengan hal yang profan. Kedua, ada ritual. Yaitu aturan tingkah laku yang mengatur bagaimana seorang manusia mesti bersikap terhadap hal-hal yang sakral itu. Ketiga, agama membutuhkan gereja, atau suatu komunitas moral yang melingkupi seluruh anggotanya.
Durkheim melakukan penelitian empirisnya di Australia, tepatnya pada masyarakat suku Arunta. Dalam mempelajari agama dalam budaya primitif pada suku Arunta tersebut, Durkheim percaya akan mendapatkan pengetahuan tentang hakikat agama yang sebenarnya yang masih murni belum ada pembaharuan oleh pemikir-pemikir agama seperti pada agama-agama modern. Tetapi studi pada agama primitif tersebut akan ia gunakan pula untuk mempelajari agama modern. Dari studinya itu Durkheim menjumpai apa yang disebut totem, yaitu benda yang dianggap suci. Totem ini merupakan pusat upacara keagamaan dari orang-orang primitif tersebut. Sebenarnya Totem yang dianggap suci itu tidak lain adalah hanya sebuah simbol, yaitu seperti pada penjelasan diatas adalah simbol dari Tuhan. Tuhan yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif yang kemudian menjelma menjadi representasi kolektif yakni berupa lambing-lambang yang berwujud ajaran-ajaran Totem.  Durkheim berkesimpulan bahwa Tuhan itu hanyalah sebuah idealism dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna. Sehingga ia berkesimpulan bahwa agama merupakan lambing kolektif atau representasi kolektif dari masyarkat dengan bentuk yang ideal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar