Selasa, 29 Desember 2015

Teori Sosiologi Max Weber



Teori Sosiologi  Max Weber
 
A.    Biografi Max Weber
Max Weber dilahirkan di Erfurt, Thuringia, pada tanggal 21 April 1864, tetapi dibesarkan di Berlin dari keluarga kelas menengah. Di usia 8 tahun Weber mulai mempelajari hokum di Universitas Heidelberg. Weber meneruskan studynya di Berlin dan mulai membantu dalam pengadilan. Pada tahun 1889, ia menyelesaikan tesis Doctorialnya. Setelah araris Roma, ia mulai mengajar di Universitas Berlin. Weber mulai membaktikan seluruh waktunya untuk kehidupan akademisnya ketika ia menerima kedudukan sebagai guru besar ekonomi di Universitas Freiburgh pada tahun 1894. Dua tahun kemudian ia kembali ke Universitas Heidelberg, sebagai guru besar ekonomi.
Perbedaan antara orangtuanya membawa dampak besar pada orientasi intelektual dan perkembangan psikologinya. Ayahnya adalah seorang birokrat yang menduduki posisi politik yang relative penting. Weber jelas merupakan bagian dari kemapanan politik dan akibatnya ia abstain dari aktivitas dan actori yang memerlukan pengorbanan pribadi atau mengancam posisinya dari dalam system. Selain itu ayah Weber adalah seseorang yang menikmati dunia dan dalam banyak hal ia sangat berlawanan dengan istrinya. Ibu Max Weber adalah seorang calvinis yang sangat religious, seorang perempuan yang berusaha menjalani kehidupan asketis yang tidak banyak terlibat dalam kenikmatan duniawi yang didambakan oleh suaminya. Perhatiannya lebih actor dunia lain, ia terusik oleh ketidaksempurnaan yang merupakan tanda bahwa ia tidak ditakdirkan untuk mendapatkan keselamatan. Perbedaan tajam antara kedua orangtuanya menyebabkan ketegangan rumahtangga dan perbedaan serta ketegangan tersebut membawa dampak besar bagi Weber. Karena tidak mungkin mendamaikan kedua orangtuanya, sebagai seorang anak Weber dihadapkan pada pilihan sulit. Mula-mula ia lebih cenderung pada kehidupan ayahnya, namun kemudian ia lebih dekat dengan ibunya. Apapun pilihannya, ketegangan yang ditimbulkan oleh kebutuhan untuk memilih dua kutub tersebut membawa pengaruh negative pada psikis Max Weber.
Pada usia 18 tahun, Max Weber meninggalkan rumah sementara waktu untuk belajar di Universitas Heidelberg. Weber telah menunjukan kemampuan intelektualnya, namun dalam hal derajat sosial ia memasuki Universitas Heidelberg dengan malu-malu dan terbelakang. Namun hal tersebut cepat berubah setelah ia tertarik pada cara hidup ayahnya dan bergabung dengan organisasi kepemudaan tempat ayahnya dulu pernah terlibat. Disana ia berkembang secara sosial, paling tidak sebagian karena banyaknya bir yang ia konsumsi bersama dengan teman-temannya. Selain itu, dengan bangga ia menampilkan bekas luka akibat perkelahian yang merupakan tanda dari organisasi tersebut. Weber tidak hanya mewujudkan identitasnyadengan cara hidup ayahnya yang seperti itu, namun juga memilih paling tidak pada saat karir ayahnya hokum. Setelah 3 tahun Weber meninggalkan Heidelberg untuk menjalani wajib militer, dan pada tahun 1884 kembali ke Berlin dan kerumah orangtuanya untuk mengambil kuliah di Universitas Berlin. Ia tetap disana selama hamper 8 tahun kemudian ketika ia menyelesaikan studynya, meraih gelar doctor, menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Dalam proses ini minatnya lebih banyak beralih ke persoalan-persoalan sepanjang masa ekonomi, sejarah dan sosiologi. Selama 8 tahun di Berlin secara finansial Weber tergantung pada ayahnya, satu situasi yang semakin tidak disukai. Pada saat yang sama ia semakin mendekati nilai-nilai ibunya dan antipasti terhadap ayahnya meningkat. Ia menjalani kehidupan asketis dan tenggelam dalam kerjanya. Mengikuti ibunya Weber menjadi seorang asketis dan rajin, seorang pekerja giat. Pada tahun 1896, giat bekerja ini membawanya pada posisi seorang professor ekonomi di Heidelberg, namun pada tahun 1897 ketika karir akademik berkembang ayahnya meninggal dunia setelah bertengkar hebat dengannya. Seringkali Weber tidak dapat tidur dan bekerja, ia menghasilkan 6 atau 7 tahun kemudian dalam kondisi yang actor mati suri. Pada tahun 1903, tenaganya pulih kembali namun tidak sampai tahun 1904. Ketika ia menyampaikan kuliah perdananya di Amerika Serikat dalam kurun waktu enam setengah tahun Weber mampu kembali aktif dalam kehidupan akademiknya.

Pada tahun 1904 dan 1905 ia menerbitkan karya terkenalnya, The Protestan Ethnik and The Spirit Capitalism. Dalam karyanya Weber menyatakan kesalihan sang ibu yang diwarisinya pada level akademik. Weber  banyak menghasilkan waktu untuk mempelajari agama kendati secara pribadi ia tidak religious.
Meskipun ia dihinggapi masalah psikologis, setelah tahun 1904, Weber mampu bekerja kembali menghasilkan karya pentingnya. Pada tahun-tahun tersebut, Weber menerbitkan studynya tentang agama-agama dunia dalam perspektif sejarah dunia. Ketika ia meninggal dunia (14 Juni 1920) ia tengah mengerjakan karya terpentingnya, Economy and Society. Meskipun bukunya diterbitkan dan kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, buku ini tidak selesai. Selain menghasilkan banyak tulisan ketika itu Weber melakukan sejumlah aktifitas lain. Ia membantu mendirikan masyaratak Sosiologi Jerman pada tahun 1910. Rumahnya menjadi pusat bagi banyak intelektual, termasuk para sosiolog seperti George Simell, Robert Michael dan saudaranya Alfred Weber, maupun filsuf kritik sastra George Lukacs. Selain itu Weber aktif secara politik dan menulis banyak essay tentang sejumlah isu pada masanya. Dalam kehidupan Weber, dalam karya-karyanya terdapat ketegangan antara pikiran birokratis sebagaimana  ditampilkan oleh sang ayah dan religiusitas ibunya. Ketegangan yang tidak terpecahkan itu merasuk ke dalam karya Weber dan dalam kehidupan pribadinya


  1. Pemikiran Max Webber tentang rasionalitas dan tindakan sosial
Weber mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas sarana tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang rasionalisasi skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.
Tipe-tipe rasionalitas:
1.      Tipe rasionalitas praktis, yang didefinisikan oleh Karl Berg sebagai “setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan indidvidu yang murni, fragmatis dan egoistis” (1980: 1151). Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan longgarnya ikatan magi actorio, dan dian terdapat dalam setiap peradaban dan melintasi sejarah: jadi, dia tidak terbatas pada barat (oksiden) modern.
2.      Rasionalitas teoritis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak.
3.      Rasionalitas actoriona (seperti rasionalitas praktis, namun tidak seperti rasionalitas teoritis) secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas actoriona melibatkan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sitem nilai (secara sunstantif) tidak lebih rasional daripada sistem nilai lainnya. Jadi, tipe rasioanalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selam ada postulat nilai yang konsisten.
4.      rasionalitas formal, yang melibatkan kalkulasi sarana-tujuan. Meskipun seluruh tipe rasionalitas lain juga bersifat lintas peradaban dan melampaui sejarah, rasionalitas formal hanya muncul di Barat seiring dengan lahirnya industrialisasi.
Weber mimilih konsep rasionalitas sebagai titik pusat perhatiannya yang utama. Konsep ini sama pentingnya dengan konsep solidaritas untuk Durkheim, konflik kelas Marx, tahap-tahap perkembangan intelektual bagi Comte, dan mentalitas budaya untuk Sorokin. Weber melihat perkembangan masyarakat barat yang modern sebagai suatu hal yang menyangkut peningkatan yang mantap dalam bentuk rasionalitas. Peningkatan ini tercermin dalam tindakan ekonomi individu setiap hari dan dalam bentuk-bentuk organisasi sosial, hal ini juga juga terungkapkan dalam evolusi acto Barat. Meskipun acto sering dilihat sebagai bahasa emosi, Weber memperlihatkan bahwa acto juga tunduk pada kecenderungan rasionalisasi yang merembes pada perkembangan kebudayaan Bbarat yang modern. Karena kriteria rasionalitas merupakan suatu kerangka acuan, maka masalah keunikan orientasi subyektif individu serta motivasinya sebagiannya dapat diatasi. Juga menurut perspektif ilmiah, kriteria rasionalitas merupakan suatu dasar yang logis dan obyektif untuk mendirikan suatu ilmu pengetahuan mengenai tindakan sosial serta institusi sosial, dan sementara itu membantu menegakkan hubungannya dengan arti subyektif. Beberapa masalah akan kita hadapi dalam menganalisa tindakan sosial menurut titik pandangan ini.
Para ahli filsafat sosial, pujangga, dan pengamat sosial lainnya berbeda secara mendalam dalam memberikan prioritas pada pikiran, intelek, dan logika (kegiatan otak) atau pada hati (seperti perasaan, actorio, emosi) kalau menjelaskan perilaku manusia. Sejauh mana perilaku manusia itu bersifat rasional? Tak seorangpun berbuat sesuatu tanpa pikiran, tetapi pikiran mungkin hanya sekedar keinginan untuk menyatakan suatu perasaan, dan bukan suatu perhitungan yang sadar atau logis. Kebanyakan kita heran mengapa kadang-kadang pikiran kita tidak mampu membangkitkan motivasi atau mendorong kita untuk bertindak. Kadang-kadang mungkin juga kita berpikir bahwa tindakan orang lain itu sama sekali tidak masuk akal, hanya menjadi berarti apabila orang itu menjelaskan actor bagi tindakan itu—mesipun kriteria yang kita gunakan untuk penilaian seperti itu mungkin agak longgar. Misalnya, mungkin kelihatannya masuk akal bahwa seseorang membayar dengan sangat mahal sebuah mobil besar yang kurang cepat apabila kita mengetahui bahwa ada temannya yang mati ketika mengendarai mobil kecil yang kurang bertenaga. Tetapi apabila orang-orang lalu memberikan pembenaran-pembenaran seperti itu, kita sepertinya heran kalau pembenaran seperti itu sebenarnya merupakan rasionalisasi yang bersifat ex post facto tentang tindakan, yang diberikan dengan actor-alasan yag sangat berbeda. Pareto, misalnya, melihat kebanyakan tindakan itu bersifat nonlogis (muncul dari perasaan), dan yang lalu dirasionalisasikan menurut motif-motif yang dapat diterima secara sosial.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul sehubungan dengan rasionalitas malah menjadi lebih kompleks apabila kita melihat perannya dalam institusi-institusi sosial. Sejauh mana institusi sosial dan organisasi mencerminkan tipe rasionalitas? Salah satu sumbangan Weber yang paling masyhur terhadap sosiologi adalah analisa klasiknya mengenai birokrasi modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling rasional (secara teknis bersifat efesien) dirancangkan. Dalam pengertian apa suatu birokratis itu merupakan tipe organisasi sosial yang rasional? Dalam masyarakat modern yang dikendalikan secara birokratis ini, kita sering mengalami aspek-aspek tertentu dalam birokrasi yang tidak rasional, khususnya kalau kita dipaksa untuk berinteraksi dengan nasabah atau para langganan. Apa yang membatasi rasionalitas? Apakah rasionalitas suatu organisasi sosial merupakan suatu tipe yang berbeda atau berada pada tingkat yang berbeda dari yang bersifat individual.
Kita tahu, misalnya, bahwa individu dalam posisi yang rendah dalam satu organisasi birokratis malah tidak sadar bagaimana sumbangannya yang khusus itu dihubungkan dengan yang dari ratusan orang lainnya dalam suatu sistem kegiatan yang saling tergantung dan sangat terkoordinasi secara rasional. Rasionalitas di tingkat individual dan di tingkat organisasi mungkin mencerminkan kriteria yang berbeda di mana keduanya tidak saling mengimplisit. Jawaban yang hanya “ya” atau “tidak” terhadap pertanyaan apakah tindakan manusia bersifat rasional atau tidak, adalah tidak mungkin. Tentu ada aspek rasional atau intelektual dalam kebanyakan perilaku manusia. Penggunaan teori implisit dalam menggambarkan pengalaman seseorang di masa lampau, dan dalam mengembangkan rencana untuk masa depan (seperti didiskusikan dalam Bab I) jelas merupakan suatu proses intelektual. Tetapi ada yang lebih lagi dalam perilaku manusia. Suatu aspek perasaan juga tercakup dalam tindakan, seperti nilai dan tujuan yang berada di luar kriteria perhitungan rasional. Analisa mengenai tempat rasionalitas dalam tindakan manusia menuntut kita untuk mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan rasionalitas khususnya, dan tingkatannya baik secara individual maupun institusional di mana istilah ini diterapkan. Sebelum mendiskusikan sumbangan Weber terhadap teori sosiologi, kita akan melihat sepintas kilas kehidupan Weber serta konteks intelektual dan sosial di mana dia hidup.
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Weber tentang tindakan sosial. 
Menurut Kamanto Sunarto yang dikutip dalam buku pengantar sosiologi,  tindakan sosial menurut Max Weber, “Tindakan sosial adalah tindakan manusia yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat serta mempunyai maksud tertentu, suatu tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain”.
Max Weber membedakan tindakan sosial kedalam 4 kategori :
1.      Zweek Rational
Yaitu tindakan yang dilaksanakan setelah melalui tindakan matang mengenai tujuan dan cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan itu. Jadi, Rasionalitas instrumental adalah tindakan yang diarahkan secara rational untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan diterapkan dalam suatu situasi dengan suatu pluralitas cara-cara dan tujuan-tujuan dimana sipelaku bebas memilih cara-caranya secara murni untuk keperluan efisiensi.
2.      Wert Rational
Tindakan sosial jenis ini actor serupa dengan kategori atau jenis tindakan sosial rasional instrumental, hanya saja dalam werk rational tindakan-tindakan sosial ditentukan oleh pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai estetis, etis dan keagamaan, manakala cara-cara yang dipilih untuk keperluan efisiensi mereka karena tujuannya pasti yaitu keunggulan.
3.       Affectual Rational
Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya timbul secara spontan karena mengalami suatu kejadian yang sebagian besar dikuasai oleh perasaan atau emosi  tanpa perhitungan dan pertimbangan yang matang.
4.       Tradisional Rational
Tindakan sosial semacam ini bersifat rasional, namun sipelaku tidak lagi memperhitungkan proses dan tujuannya terlebih dahulu, yang dijadikan pertimbangan adalah kondisi atau tradisi yang sudah baku dan manakala baik itu cara-caranya dan tujuan-tujuannya adalah sekedar kebiasaan

  1. Pemikiran Max Webber tentang Etika Protestan dan Kapitalis
Weber menyebutkan agama adalah salah satu actor utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan aktor mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan actor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan actori modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk acto atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk acto atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka actor dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni acto, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk acto, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan.
Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi actor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi actori, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupannya,
Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM, Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.
Pada bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan kekuasaan, ada berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik sosial. Tentang Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini menjadi sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik barat modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga justifikasi batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar bagi dominasi ini yang pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering disebut sebagai dominasi tradisional, karma disini ada otoritas atas adat istiadat yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai actorio dan penguasa patrimonial dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang pemimpin atas dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan otoritas kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada wahyu, actor, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan individual. Sebagai contohnya seperti yang diperaktikan seorang Nabi, pangliama perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin politik yang memang mempunyai sebuah actori. Yang ketiga merupakan dominasi karma legalitas, dominasi ini didasari oleh sebuah acto yang memang sudah terbentuk. Legalitas ini timbul karena keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional yang beralas pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang dipilih secara demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang yang berlaku seperti halnya Negara kita dan Negara-negara lain yang demokratis.
Ada yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan rasionalisasi acto, menurutnya perkembangan acto diawali pewahyuan ala kharismatik, tahapan ini merupakan penciptaan acto dari ketiadaan acto sama sekali. Tahapan ini ditandai dengan mode bersifat kharimatik. Tahapan yang kedua menurut Weber adalah penciptaan acto secara empiris, pengadaan acto empiris ini tercipta melalui proses teknis yang merupakann kreatifitas manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai dengan metodenya yang bersifat empirical. Selanjutnya adalah tahapan imposition atau pembebanan acto oleh kekuatan-kekuatan sekuler, dan yang terakhir merupakan tahapan actorional, artinya acto yang dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan didalamnya karna mereka mendapatkan pendidikian formal dengan metode ilmiah dan logis formal. Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu akan berkembang dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah ditentukan diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan acto, proses itu tak berjalan linier menaiki tangga secara berurutan, justru perubahannya bisa saja terjadi secara gradual atau acak. Hal ini bisa ditemukan pada kondisi masyarakat yang mengalami revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita masih menemukan fakta banyaknya masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam menyesuaikan acto yang mengikatnya oleh acto formal yang diciptakan negara, ini mengakibatkan kementalan antara kualitas acto dan kualitas masyarakat, alasannya adanya masyarakat yang tak bisa mencerna acto sehingga terjadi pemboikotan secara tidak langsung.
Ada kasus yang lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan acto manusia saat ini, contoh beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu saja bisa merupakan penolakan mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa yang disebut sebagai acto tuhan yang berpedoman pada wahyu dari teks-teks suatu kitab suci masih berlaku sepanjang zaman yang dijadikan acto manusia saat ini. Tentu tidak serta merta dapat dikatakan ketinggalan, karna berada pada tahap satu dari perkembangan manusia yang diungkapkan Weber sebelunya, justru kharismatik tradisional mapu melampaui acto manusia profesiaonal sekalipun.
Buku ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah, beberapa tandan dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang agama, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam buku ini merupakan esai tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali pembahasan diantaranya mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas social, status dan partai, juga birokrasi.
Weber selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.

D. Pemikiran Weber tentang Kelas, Status dan Kekuasaan.
Dimulai dengan kelas, kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.Weber berpegang pada konsep orientasi tindakannya dengan menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas, kelas adalah sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi, dan kadang-kadang sering kali, basis tindakan kelompok. Weber menyatakan bahwa “situasi kelas” hadir ketika telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
Status merujuk pada komunitas. “situasi status” didefinisikan Weber sebagai “setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negative. Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak aktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah jadi semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda dengan yang ada di bawah. Dalam hal ini, gaya hidup, atau status, terkait dengan situasi kelas. Namun, kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain.
Kekuasaan menurut Weber adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun sebenarnya mendapat tentangan atau tantangan dari orang lain. Max Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang   dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan–tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota–anggota masyarakat.  Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan  penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan dalam pengertian yang luas adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut.
1.      Ratonal-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang bersifat politis.
2.      Traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni  patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya. Dalam patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan – hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib maupun religious.
Contoh patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.
Ciri khas  dari wewenang baik patriarkhalisme maupun patrimonialisme adalah adanya system norma  yang dianggap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran atasnya akan menyebabkan adanya bencana baik yang bersifat gaib maupun yang bersifat religious. Si pemegang kekuasaan dari wewenang sedemikian ini dalam merumuskan keputusan-keputusannya adalah atas dasar pertimbangan pribadinya dan bukan atas dasar pertimbangan fungsinya. Dalam pengertian ini wewenang tradisional sedemikian ini lebih bersifat irrasional.
3.      Charismatic authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa yang dimilikinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai, dan sebagainya.

Teori Sosiologi Karl Marx



 Teori Sosiologi Karl Marx

1.    Biografi Karl Marx
Karl Marx lahir di Trier, Prussia, pada 5 Mei 1818 (Beilharz, 2005e). Ayahnya adalah seorang pengacara, memberikan kehidupan keluarga kelas menengah yang agak khas. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga rabbi, tetapi karena alasan-alasan bisnis, sang ayah telah berpindah agama ke Lutheranisme ketika Karl masih sangat muda. Pada 1841 Marx menerima gelar doktornya di bidang filsafat dari Universitas Berlin, yang sangat dipengaruhi oleh Hegel dan para Hegelian muda, yang bersikap mendukung, namun kritis terhadap guru mereka. Disertasi Marx adalah suatu risalat filosofis yang kering, tetapi benar-benar mengantisipasi banyak dari idenya di kemudian hari. Setelah lulus dia menjadi seorang penulis untuk sebuah koran yang liberal-radikal dan dalam sepuluh bulan dia telah menjadi kepala editornya. Akan tetapi, karena pendirian-pendirian politisnya, koran itu ditutup oleh pemerintah tidak lama kemudian. Esai-esai awal yang diterbitkan di dalam periode ini mulai mencerminkan sejumlah pendirian yang akan menuntun Marx di sepanjang hidupnya. Pendirian-pendirian itu dibubuhi secara liberal dengan prinsip-prinsip demokratis, humanisme, dan idealisme anak muda. Dia menolak keabstrakan filsafat Hegelian, mimpi yang naif para komunis utopian, dan menolak para aktivis yang sedang mendesakkan hal yang oleh Marx dianggap sebagai tindakan politis pengatur. Dalam menolak para aktivis tersebut, Marx meletakkan dasar bagi pekerjaannya sepanjang hayat:
Usaha-usaha praktis, oleh massa sekalipun, bisa segera dijawab dengan Meriam bila sudah membahayakan, tetapi ide-ide yang telah mengalahkan intelek kita dan menundukkan keyakinan kita, ide-ide yang telah memaku suara hati kita, adalah rantai-rantai yang tidak dapat dilepaskan orang tanpa mematahkan hatinya ; mereka adalh setan-setan yang dapat dikalahkan orang hanya dengan menyerahkan diri kepadanya.(Marx, 1842/1977: 20)

Marx menikah pada 1843 dan tidak lama kemudian terpaksa meninggalkan Jerman untuk mencari suasana yang lebih liberal di Paris.  Di sana dia terus bergumul dengan ide-ide Hegel dan para pendukungnya, tetapi dia juga menjumpai dua kumpulan ide yang baru – sosialisme Prancis dan ekonomi politis Inggris. Caranya menggabungkan Hegelianisme, sosialisme, dan ekonomi politis yang membentuk orientasi intelektualnya unik. Juga yang sangat penting pada titik tersebut ialah pertemuannya dengan orang yang kemudian menjadi sahabat seumur hidup, dermawan, dan kolaboratornya-Friedrich Engels (Carver, 1983). Putra seorang pemilik pabrik tekstil, Engelsmenjadi seorang sosialis yang kritis terhadap kondisi-kondisi yang sedang dihadapi kelas pekerja. Banyak rasa iba Marx untuk kesengsaraan kelas pekerja berasal dari pembukaan dirinya kepada Engels dan ide-idenya. Pada 1844 Engels dan Marx melakukan percakapan yang panjang di sebuah kafe yang terkenal di Paris dan meletakkan dasar-dasar bagi hubungan mereka yang berlangsung seumur hidup. Mengenai percakapan itu Engels mengatakan, “kesepakatan kami yang lengkap di semua bidang teoritis menjadi jelas … dan kerja sama kami dimulai sejak saat itu” (McLellan, 1973: 131). Pada tahun berikutnya, Engels menerbitkan suatu karya yang terkenal, The Condition on the Working Class in England. Selama periode tersebut Marx menulis sejumlah karya yang sulit dimengerti (banyak yang tidak diterbitkan semasa hidupnya), termasuk The Holy Family  (1845/1956) dan The German Ideology (1845-1846/1970) (keduanya ditulis bersama Engels), tetapi dia juga menulis The Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 (1932/1964), yang membayangkan pergulatannya kelak yang kian meningkat di ranah ekonomi.
Sementara Marx dan Engels menganut orientasi teoritis yang sama, ada banyak perbedaan di antara kedua pria itu.





2.    Teori Pemikiran Karl Marx
A.    Dialektika
Gagasan tentang filsafat dialektis telah ada selama berabad-abad(Gadamer,1989). Gagasan dasarnya adalah arti penting kontradiksi. Sementara kebanyakan filsuf, dan bahkan orang awam memperlakukan kontradiksi-kontradiksi sebagai kesalahan-kesalahan, filsafat dialektis percaya bahwa kontradiksi-kontradiksi eksis di dalam realitas  dan cara yang paling tepat untuk memahami realitas adalah dengan mempelajari perkembangan kontradiksi-kontradiksi tersebut.
Marx juga menerima arti penting kontradiksi-kontradiksi untuk perubahan historis. Kita dapat melihat hal ini di dalam rumusannya yang terkenal seperti “Kontradiksi Kapitalisme” dan “Kontradiksi Kelas”. Namun berbeda dengan Hegel, Marx tidak percaya bahwa kontradiksi-kontradiksi ini bisa dipecahkan di dalam pemahaman kita, yakni di dalam pikiran-pikiran kita. Bagi Marx kontradiksi-kontradiksi ini benar-benar ada dan tidak dapat di pecahkan ooleh filsuf yang hanya duduk di belakang meja tulisnya, melainkan oleh perjuangan  hidup dan mati demi mengubah dunia sosial.  Dialektika lebih membawa kita kepada minat untuk mengkaji konflik dan kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di antara berbagaii level realitas sosial, ketimbang minat sosiologi tradisional terhadap level-level yang saling berhubungan secara teratur dengan suatu keseluruhan yang kohesif.
·      Metode Dialektis
       Fokus Marx pada kontradiksi-kontradiksi yang benar-benar ada, membawa dia kepada suatu metode khusus untuk mempelajari fenomena sosial yang disebut dialektika(Ball,1991;Friedrichs, 1972; Ollman, 1976; Schneider, 1971)
a.       Fakta dan Nilai
Dalam analisis dialektis, nilai-nilai sosial tidak dapat dipisahkan dari fakta-fakta sosial. Kebanyakan sosiolog menganggap nilai-nilai mereka bisa dan bahkan harus dipisahkan dari studi mereka terhadap fakta-fakta dunia sosial, tetapi juga tidak diinginkan, karena hal itu akan menghasilkan suatu sikap ketidakberpihakan.
b.      Hubungan Timbal Balik
Metode analisis dialektis bukanlah hubungan sebab akibat sederhana dan satu arah antar bagian-bagian dunia sosial. Bagi pemikir dialektis, pengaruh-pengaruh sosial tidak pernah secara sederhana mengalir di satu arah sebagaimana yang diandaikan para pemikir-pemikir sebab akibat. Bagi dialektikawan, satu faktor dapat berpengaruh pada faktor lain, namun juga faktor lain ini juga akan berpengaruh pada faktor pertama. Jenis pemikiran ini bukan berarti bahwa dialektikawan tidak pernah mengakui adanya hubungan sebab akibat dalam dunia sosial. Ketika para pemikir dialektis berbicara tentang  kausalitas, bukan berarti mereka selalu melihat  faktor-faktor sosial berdasarkan hubungan timbal balik seperti yang mereka lakukan pada kehidupan sosial.
c.       Masa lalu,masa Sekarang, dan Masa Depan
Hubungan realitas kontemporer dengan fenomena-fenomena sosial masa lalu dan masa yang akan datang memiliki dua implikasi yang teroisah terhadap sosiologi dialektis. Pertama, bahwa sosiolog dialektis bergelut mempelajari akar-akar historis dunia kontemporer sebagaimana yang dilakukan oleh Marx (1857-58/1964) dalam studinya terhadap sumber-sumber kapitalis modern.  Kedua, banyak pemikir dialektis menyesuaiikan diri dengan tren sosial masa sekarang untuk memahami arah yang mungkin  bagi masyarakat di masa depan.
d.      Tidak Ada yang Tidak Dapat Dielakkan
Pandangan dialektis yang melihat adanya hubungan antara masa sekarang dengan masa yang akan datang bukan berarti masa datang ditentukan oleh masa sekarang. Terence Ball (1991) menggambarkan Marx sebagai seorang “yang meyakini kesempatan politis” ketimbang “kepastian sejarah”. Karena fenomena sosial selalu melahirkan aksi dan reaksi, maka dunia sosial tidak dapat dilukiskan lewat model yang sederhana dan deterministik. Masa yang akan datang mungkin didasarkan pada beberapa model yang ada saat ini, tetapi itu bukan berarti dia sudah pasti seperti yang digambarkan model itu.
e.       Aktor dan struktur
Para pemikir dialektis juga tertarik pada dinamika hubungan  aktor dan struktur sosial, termasuk Marx yang juga sudah mengetahui saling pengaruh yang terus terjadi antara level-level utama analisis sosial.Inti pemikiran Marx  berada pada hubungan antara manusia dan struktur-struktur  skala luas yang mereka ciptakan(Lefebvre, 1968:8). Metode dialektis mengakui keadaaan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang, dan hal ini juga berlaku untuk aktor-aktor dan struktur-struktur.

B.  Sifat Dasar manusia
Marx membangun anaisis kritisnya terhadap kontradiksi-kontradiksi masyarakat kapitais berdasarkan premis premisnya tentang sifat dasar manusia, hubungannya dengan pekerja, dan potensinya bagi alienasi dibawah kapitalisme. Marx percaya bagwa ada kontra diksi nyata antara sifat dasar kita dan cara kita bekerja dalam masyarakat kapitalis.
Marx (1964:64) menulis di dalam karyanya awalnya bahwa manusia merupakan suatu “ansambel relasi relasi social”. Dengan ini dia ingin mengatakan bahwa sifat dasar kita jalin menjalin dengan relasi relasi social kita yang khusus dan konteks institusional kita. Oleh karena itu, sifat dasae manusia bukan merupakan suatu yang statis, akan tetapi berbeda beda sesuai latar historis dan social. Untuk memahami sifat dasar manusia kita harus memahami sejarah social karena dia dibentuk oleh kontradiksi kontradiksi dialektis yang sama yang diyakini marx sebagai pembentuk sejarah masyarakat.
Bagi marx, konsepsi tentang sifat dasar manusia yang tidak memperhitungkan factor factor social dan sejarah adalah salah, akan tetapi melibatkan factor factor itu juga tidak sama dengan tindak menggunakan konsepsi tentang sifat dasar manusia sama sekali. Malahan factor factor itu hanya memperumit dan memperdalam konsepsi tersebut. Bagi marx,  adasuatu sifat dasar manusia pada umumnya, akan tetapi yang tidak penting adalah sifat dasar tersebut dimodifikasi pada masing masingtahapsejarah” (marx, 1842/ 1977: 609). Ketika bicara tentang dasar umum kita, marx sering menggunakan istilah species being. Yang dia maksud adalah potensi-potensi dan kekuatan kekuatan yang unik yang membedakan kita dari spesies yang lain.
Louis althusser (1969: 229), berpendapat bahwa marx dewasatidak meyakini adanya sifat dasar manusia apa pun. Tentu saja ada alasan untuk menganggap sifat dasar manusia tidak penting bagi seseorang yang tertarik mengubah masyarakat. Ide-ide tentang sifat dasar manusia- seperti ketamakan, kecenderungan pada kekerasan, perbedaan gender “alamiah” kita - sering  digunakan untuk menentang perubahan social apapun. Konsepsi konsepsi sifat dasar manusia itu konservatif. Jika probem-problem kita disebabkan oleh sifat dasar kita, maka kita lebih baik belajar untuk membiasakan diri mencoba mengubah segala sesuatu.
Meskipun demikian, jelas sekali bahwa marx memiliki konssep sifat dasar manusia (geras,  1983). Bahkan, kurang masuk akal untuk mengatakan bahwa sifat dasar manusia tidak ada. Sekalipun kita seperti kotak kapur kososng, kotaak kapur tersebut mesti terbuat dari sesuatu, dan mesti memiliki sifat, seperti bahwa tanda tanda kapur bisa tampak pada kotak kapur tersebut. Pernyataan yang sebenarnya bukanlah apakah kita memiliki sifat dasar, melainkan sifat semacam apa yang kita miliki tak berubah atau terbuka terhadap proses-proses historis.
·      Kerja
Kerja adalah, pertama dan utama sekali, suatu proses dimana manusia dan alam sama sama terlibat, dan dimana manusia dengan persetujuan dirinya sendiri sama sama terlibat, dan dimana manusia dengan persetujuan dirinya sendiri memulai, mengatur, dan mengontrol aksi reaksi material antara dirinya dan alam… dengan bertindak terhadap dunia eksternal dan mengubahnya, manusia pada saat yang bersamaan mengubah sifat dasar dirinya. Diaa mengembangkan kekuatan kekuatan yang tidak aktif dan memaksanya untuk bertindak patuh terhadao kekuasaan.. kita mengendalikan kerja dalam suatu bentuk yang hanya diperuntukan khusus buat manusia. Seekor laba laba membuat sarang bagaikan seorang penenun dan bahkan seekor tawon maupun membuat malu seorang arsitek karena sarang yang dibuatnyaa. Namun, inilah yang membedakan arsitek terburuk dengan tawon terbaik, bahwa si arsitek sudah membayangkan struktur bangunan yang akan dibuatnya di dalam imajinasi sebelummembangunnya di dalam kenyataan. Di akhir setiap proses kerja, kita memperoleh hasil yang sebelumnya sudah ada di dalam imajinasi para pekerja. Dia tidak akan mengubah bentuk material bahan yang diolah, tetapi juga berhasil sampai pada satu tujuan. (marx, 1867/1967: 177-17)
Dalam kutipan diatas kita melihat bagian bagian penting pandangan marx tentanng hubungan antara kerja dan sifat dasar manusia. pertama, yang membedakan kita dengan binatanng yang lain spesies kita sebagai manusia adala bahwa kerja kita mewujudkan suatu hal di dalam realitas yang sebelumnya hanya ada di dalamimajinasi. Produksi kita merefleksikan tuujuan kita. Marx menyebutproses dimana kita menciptakan obyek-obyek eksternal di luarpikiran internal kita dengan obyktifitasi. Kedua, kerja ini bersifat material. Ia bekerja dengan alam material untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan material kita. Ketiga, dan terakhir, marx mempercayai bahwa kerja ini tidak hanya mengubah alam, tetapi juga mengubah kita termasuk kebutuhan, kesadaran, dan sifat dasar kita. Kerja, oleh karena itu, pada saat yang sama merupakan (1) obyektivikasi tujuan kita,(2) pembentukan suatu relasi yang esensial antara kebutuhan manusia dengan obyek obyek material kebutuhan kita, dan (3) transformasi sifat dasar kita.
Peggunaan istilah kerja oleh marx tidak dibatasi untuk aktifitas ekonomi belaka, meainkan mencangkup seluruh tindakan tindakan produktif dimana kita mengubah dan mengolah alam material untuk tujuan kita. Apapun yang diciptakan melalui aktifitas bertujuan bebas ini merupakan suatu eksprresi dan transformasi hakikat kemanusiaan kita . karya seni merupakan obyektifitas seniman.namun, benar juga bahwa proses penciptaan kkarya seni mengubah seniman. Melalui proses produksi seni ide ide seniman tenntanng seni berubah atau seniman mungkin menjadi sadar akan sebuahvisi baru yang membutuhkan obyektivitas selanjutnya.
Kerja bahkan kerja artistic,merupakan respon terhadap kebutuhan, dan transformasi yang di bawa kerja itu juga mentransformasikan kebutuhan kita. Pemenuhan kebutuhan bisa membawa kita padapenciptaan kebutuhan baru (marx dan engels, 1845-46/1970:43). Misalnya sajamobil memenuhi kebutuhan transportasi, walaupun pada awalnya  sebagian orang menganggap dahulu membutuhkan mobil, tapi sekarang kebanyakan orang membutuhkanya. Kita bekerja sebagai respons terhadap kebutuhan kita, akan tetapi kerja itu sendiri mentransformasikan kebutuhan kebutuhan kita, yang bisa membawa kita kepada bentuk bentuk aktifitas produktif baru, menurut marx, transformasi kebutuhan kebutuhan kita melalui kerja inilah yang menjadi mesin sejarah manusia.
tidak hanya syarat syarat obyektif yang berubah di dalam tindakan produksi…tetapi para produserpun berubah, mereka menghasilkan kualitas kualitas baru di dalam diri mereka sendiri, mengembangkan diri mereka di dalam produksi,mentransformasikan,mengembangkan kekuatan, kekuatan, ide-ide, berbagai bentuk hubungan kebutuhan-kebutuhan dan bahasa baru. Marx, 1857-58/1974:494)

C.  Pandangan Materialisme Historis Karl Marx
Pandangan materialisme historis adalah pandangan tentang faktor-faktor yang menentukan perkembangan sejarah. Pandangan materialisme historis menurut Marx, “Materialisme” dalam Marx berarti bahwa kegiatan dasar manusia adalah kerja sosial. Di sini dia menerima pengandaian Feurbach bahwa kenyataan akhir adalah obyek indrawi, dan dalam Marx objek indrawi itu harus dipahami sebagai kerja atau produksi. Istilah “Sejarah” mengacu pada Hegel yang pengandaian-pengandaiannya tentang sejarah diterima oleh Marx. Tetapi, sejarah di sini bukan menyangkut perwujudan dari Roh, melainkan perjuangan kelas-kelas untuk mewujudkan dirinya mencapai kebebasan/emansipasi.
Hukum dasar perkembangan masyarakat ialah bahwa produksi kebutuhan-kebutuhan material manusia menentukan bentuk masyarakat dan pengembangannya. Fakta sederhana itu ialah bahwa manusia pertama-tama harus makan, minum, bertempat tinggal, dan berpakaian. Setelah itu baru mereka melakukan kegiatan politik, ilmu pengetahuan, seni, agama, dan seterusnya. Jadi, produksi nafkah hidup material bersifat langsung. Dengan demikian tingkat perkembangan ekonomis sebuah masyarakat atau jaman menjadi dasar dari bentuk-bentuk kenegaraan, pandangan-pandangan hukum, seni, dan bahkan perkembangan pandangan-pandangan religius orang-orang yang bersangkutan.
Keadaan sosial menyangkut produksi masyarakat, pekerjaan masyarakat. Manusia ditentukan oleh produksi mereka: apa yang mereka produksi dan cara mereka berproduksi. Pandangan ini disebut materialis. Disebut materialis karena sejarah manusia dianggap ditentukan oleh syarat-syarat produksi material. Jadi Marx memakai kata materialisme bukan dalam arti filosofis, yakni sebagai pandangan/kepercayaan bahwa seluruh realitas adalah materi, melainkan ia ingin menunjuk pada faktor-faktor yang menentukan sejarah. Faktor-faktor tersebut bukanlah pikiran melainkan keadaan material manusia dan keadaan material adalah produksi kebutuhan material manusia. Cara manusia menghasilkan apa yang dibutuhkan untuk hidup itulah yang disebut keadaan manusia dan cara ia bekerja. Jadi, untuk memahami sejarah dan arah perubahannya, manusia tidak perlu memperhatikan apa yang dipikirkan oleh manusia, melainkan bagaimana ia bekerja dan bagaimana ia berproduksi. Sejarah tidak ditentukan oleh pikiran manusia, melainkan oleh cara ia menjalankan produksinya. Maka, perubahan masyarakat tidak dapat dihasilkan oleh perubahan pikiran, melainkan oleh perubahan dalam cara produksi.
Menurut Doyle Pual Johnson dalam bukunya Teori Sosiologi Klasik dan Modern konsep materialis Marx yang diterapkan pada perubahan sejarah untuk pertama kalinya dijelaskannya dalam The German Ideology, disusun bersama Engels. Tema pokok dalam karya ini adalah bahwa perubahan-perubahan dalam bentuk-bentuk kesadaran, ideologi-ideologi, atau asumsi-asumsi filosofis mencerminkan, bukan menyebabkan perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial dan materil manusia.
Manusia masuk dalam hubungan-hubungan sosial dengan orang lain dalam usaha mencoba memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya (makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan seterusnya). Hubungan-hubungan produksi yang pokok ini menimbulkan pembagian kerja. Sangat erat hubungannya dengan pembagian kerja itu adalah munculnya hubungan-hubungan pemilikan yang mencakup pemilikan dan penguasaan yang berbeda-beda atas sumber-sumber pokok dan berbagai alat produksi. Pemilikan dan penguasaan yang berbeda-beda atas barang milik ini merupakan dasar yang asasi untuk munculnya kelas-kelas sosial.

D. Srukur – Struktur Masyarakat Kapitalis
Di Eropa pada zaman Marx, industrialisasi sedang meningkat. Orang dipaksa meninggalkan pertanian dan ketrampilan tangan dan bekerja di pabrik – pabrik dengan kondisi – kondisinya yang seringkali sangat keras. Pada 1840-an, ketika Mark sedang memasuki periode yang paling produktifnya, Eropa sedang mengalami krisis sosial yang tersebar luas (Seigel, 1978 : 106).
Kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi dengan sejumlah besar pekerja yang menghasilkan sedikit komoditi demi keuntungan sejumlah kecil kapitalis yang memiliki segala hal berikut ini : komoditi, alat-alat produksi komoditi, dan waktu kerja kaum pekerja, yang dibeli melalui upah (H.Wolf,005b). Salah satu dari wawasan sentral Marx ialah bahwa kapitalisme jauh lebih dari sekedar sistem ekonomi.
1.    Komoditas
Dasar dari semua karya Marx mengenai struktur sosial, dan letak keterikatannya yang paling jelas dengan panangan-pandangannya mengnai potensi manusia, adalah di dalam analisisnya mengenai komoditas atau produk-produk pekerjaan yang terutama dimaksudkan untuk pertukaran. Seperti dinyatakan Georg Lukacs (1922/1968 : 83). “Masalah komoditas adalah masalah struktural yang sentral bagi masyarakat kapitalis.”
2.    Pemberhalaan Komoditas
            Komoditas adalah produk-produk pekerjaan manusia, tetapi komoditas bisa jadi terpisah dari kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud para penciptanya. Didalam kapitalisme yang berkemang sepenuhnya, kepercayaan seperti itu menjadi realitas ketika objek-objek dan pasar-pasarnya bener-bener menjadi fenomena nyata yang independen. Komoditas menerima realitas eksternal indepenen yang nyaris mistis (Mark,1867/1967 : 35). Marx menyebutkan proses itu sebagai pemberhalaan komoditas (fitishism of comodity) (Dant, 1996; Sherlok, 1997).
3.    Modal, Kaum Kapitalis, dan Kaum Proletariat
            Marx menemukan inti masyarakat di dalam komoditas. Masyarakat yang didominasi oleh benda-benda dengan nilai utamanya adalah pertukaran mnghasilkan kategori-kategori manusia terentu. Dua tipe utama yang di perhatikan Marx adalah kaum proletariat dan kapitalis. Mari kita mulai dengan kaum proletariat.
            Para pekerja yang menjual tnaga krja mereka dan tidak memiliki alat-alat produksi sendiri adalah anggota kaum poletariat. Mereka tidak memiliki pralatan sendiri atau pabrik-pabrik. Marx (1867/1967: 714-715). Peraya bahwa kaum poletariat pada akhirnya kehilangan kahliannya sendiri ketika mereka semakin melayani mesin-mesin yang sudah menggantikan keahlian mereka. Kaum poletariat bergantung sepenuhnya pada upahnya. Hal itu membuat kaum poltariat tergantung kepada orang-orang yang membayar upah. Orang-orang yang membayar upah adalah kaum kapitalis. Kaum kapitalis adalah orang-orang yang memiliki alat-alat produksi. Di dalam suatu sirkulasi kapitalis komoditas (M,-C-M) tujuan utama ialah menghasilkan uang yang lebih banyak. Komoditas-komoditas di beli untuk menghasilkan keuntungan, tidak harus untuk penggunaan.
4.    Konflik Kelas
            Kelas, bagi Marx, selalu ddidefinisikan dari segi potensinya untuk konflik. Para individu membentuk kelas sejauh mereka berada dalam konflik bersama dengan orang-orang lain mengenai nilai surplus. Di dalam kapitalisme ada konflik kepentingan yang mendasar di antara orang-orang yang membayar buruh upahan dan orang-orang yang bekerja diubah menjadi nilai surplus. Konflik alami itulah yang menghasilkan kelas-kelas (Ollmann,1976).
            Bagi Marx, suatu baru ada bila orang-orang menjadi sadar atas hubungan mereka yang berkonflik dengan kelas-kelas lainnya. Tanpa kesadaran itu mereka hanya membentuk apa yang oleh Marx disebut suatu kelas dalam dirinya sendiri.
            Didalam kapitalise, analisis Mark menemukan dua kelas utama: borjuis dan proletariat. Borjuis adalah nama yang di berikan Mark untuk kaum kapitalis di dalam ekonomi modern. Kaum borjuis memiliki alat-alat produksi dan kaum poletariat adalah contoh lain kontradiksi material yang nyata.
5.    Kapitalisme Sebagai Hal Yang Baik
            Mark, melihat kapitalism terutama sebagai hal yang baik. Marx tiak ingin kembali kenilai-nilai tradisional prakapitalisme. Generasi-generasi masalampau benar-benar dieksploitasi; perbedaannya hanyalah eksploitasi lama tidak terselubung di balik uatu sistem ekonomi. Kelahiran kapitalisme membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk kebebasan para pekerja. Meskipun ada eksploitasi, sistem kapitalis memberikan kemungkinan untuk kebebasan dari tradisi-tradisi yang mengikat masyarakat sebelumnya. Meskipun para pekerja belum benar-benar bebas sepenuhnya. Marx percaya bahwa kapitalisme adalah akar yang menyebabkan ciri-ciri penentuan zaman modern. Perubahan terus menerus modernitas dan kecondongannya untuk menentang segala tradisi yang di terima di dorong oleh kompetisi yang tidak dapat dipisahkan dalam kapitalisme.
E. Ciri-ciri Ekonomi Kapitalis
Ekonomi kapitalis berjalan menurut serangkaian karakteristik yang khas. Di antaranya akan kita sebutkan di bawah ini:
1.      Pada dasarnya, produksi terdiri dariproduksi kooditi yaitu, produksi yang bertujuan untuk di jual di pasar. Jika komoditi yang di produksi tidak terjual di atas harga yang ada, perusahaan kapitalis dan borjuis secara keseluruhan tidak akan mendapat keuntungan atau nilai lebih dari  pekerja.
2.      Produksi di jalankandalam kondisi di mana alat produksi dimiliki secara pribadi. Kepemilikan pribadi ini bukanlah kategori legal, tetapi pada intinya adalah kategori ekonomi. Hal tersebut berarti bahwa kekuasaan untuk mengatur tenaga produktif (alat produksi dan alat kerja) bukan milik kolektif, melainkan terbagi-bagi antara perusahaan-perusahaan yang di kontrol oleh kelompok-kelompok dan kelompok-kelompok finansial).
3.      Produksi di jalankan untuk sebuah pasar yang tidak terbatas. Produksi di atur oleh printah kompetisi. Semenjak produksi tidak di batasi oleh kebiasaan (seperti dalam komunitas priitif), atau oleh hukum dan peraturan (seperti dalam perusahaan Abad Pertengahan), setiap individu kapitalis (setiap pemilik pribadi, tiap perusahaan atau kelompok kapitalis) berusaha untuk mendapatkan keuntungan terbesar, untuk mendapat bagian terbesar dari pasar.
4.      Tujuan prodksi kapitalis adalah memaksimalkan keuntungan. Kelas pemilik para kapitalis hidup dari produk surplus sosial,uumnya mengkonsumsi dalam cara yang tidak produktif. Kelas kapitalis juga mengkonsumsi secara tidak produktif sebagian dari surplus sosial, sebagian dari keuntungan yang di dapatkanya. Jalan yang paling efisien  menurunkan biaya produksi (harga biaya) adalah, untuk meperbesar basis produksi dengan kata lain, untuk memproduksi lebih, dengan bantuan mesin-mesin yang makin cangih. Tetapi hal tersebut membutuhkan jumlah kapitalis yang besar. Karenanya, di bawah cambukan kompetisi, kapitalisme di wajibkan untuk mencari maksimalisasi keuntungan, agar mengembangkan investasi produktif hinggga maksimal.
5.      Karena itu, produksi kapitalis muncul menjadi produk yang tidak hanya untuk memperoleh keuntungan tetepi juga untuk akumulasi kapital. Sesungguhnya  logika kapitalisme membutuhkan sebagian besar nilai lebih yang di akumulasikan secara produktif (di rubah menjadi kapital tambahan, dalam bentuk mesin-mesin dan bahan-bahan baku tambahan, dan pekerja tambahan) dan di konsumsi secara tidak produktif.
Produksi yang bertujuan untuk akumulasi kapital ternyata menuju pada hasil yang kontradiktif. Di satu sisi, meningkatnya perkembangan mekanisasi mengakibatkan perluasan tenaga produktif dan kenaikan dalam produktivitas kerja, menciptakan dasar material bagi pembebasan umat manusia dari kebutuhan “bekerja banting tulang”. Itulah fungsi sejarah progresif dari kapitalisme.
·           Berjalannya Ekonomi Kapitalis
Dalam rangka mendapatkankeuntungan maksimum dan mengembangkan akumulasi kapital sebesar mungkin, kapitalis di paksa mengurangi hingga minimum bagian nilai baru yang di hasilkan oleh tenaga kerja yang di kembalikan kepadanya dalam bentuk upah. Nilai baru ini, “nilai yang di tambahkan”  atau ”pendapatan nasional”, pada dasarnya di tentukan dariproses produktif itu sendiri,terlepas dari faktor apapun dalam sisi distribusi.
Dua cara esensial dimana kapitalis mencoba untuk meningkatkan bagian mereka yaitu, nilai lebih adalah:
1.      Menambah jam kerja tanpa meningkatkan upah harian (yang terjadi sejak Abad Keenambelas sampai Abad Kesembilanbelas di Barat, dan masih berlangsung hingga hari ini di berbagai negeri-negeri kolonial dan semi-kolonial), pengurangan upah riil, penurunan “kebutuhan hidup minimum”. Ini yang di sebut oleh marx dengan pertumbuhan dalam nilai lebih absolut.
2.      Peningkatan produktifitas kerja dalam bidang barang-barang konsumen (ini mendominasi di barat dari paruh dua abad Kesembilan belas hingga sekarang). Setelah kenaikan produktivitas kerja dalam industri barang-barang konsumen dan pertanian, rata-rata pekerja industri menghasilkan nilai barang yang sudah di tentukan jumlahnya selama katakan saja tiga jam kerja yang sebelumnya lima jam.
Setiap kapitalis mencoba mendapatkan keuntungan maksimum. Tapi untuk mendapatkanya, mereka harus berusaha untuk meningkatkan produksi secara maksimum, dan tanpa henti menurunkan harga biaya dan eceran (diekspresikan dalam unit moneter stabil). Karena hal itu, kompetisi beroprasi sebagai proses selektif di antara perusahaan kapitalis dengan syarat-syarat yang sedang. Hanya yang paling produktif dan paling aktif bertahan hidup. Mereka yang menjual terlalu mahal tidak akan mendapat keuntungan sama sekali.
·           Kapital, Kapitalis dan Ploretariat
Marx menemukan inti masyarakat kapitalis didalam komoditas.  Suatu masyarakat didominasi oleh objek-objek yang nilai utamanya adalah pertukaran yang memproduksi kategori-kategori masyarakat tertentu.  Dua tipe utama yang menjadi perhatian Marx adalah proleariat dan kapitalis.
Proletariat adalah para pekerja yang menjual kerja mereka dan tidak memiliki alat-aat produksi sendiri.  Mereka tidak memilik sarana-sarana sendiri dan pabrik-pabrik sendiri,  tetapi marx percaya bahwa ploretariat bahkan akan kehilangan keterampilan mereka seiring dengan meningkatnya mesin-mesin yang mengantikan mereka. Karena  proletariat hanya memproduksi demi pertukaran, maka mereka juga konsumen.  Karena mereka tidak memiliki sarana-sarana untuk memproduksi sarana-sarana untuk memproduksi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, maka mereka harus menggunakan upah yang mereka peroleh untuk membeli apa yang mereka butuhkan.  Maka dari itu proletariat tergantung sepenuhnya pada upahnya untuk bertahan hidup.  Hal inilah yang membuat proletariat tergantung pada orang yang memberi upah.
Orang yang memberi upah adalah kapitalis, jelas adalah kapialis adalah orang-orang yang memiliki alat produksi.  Kapital adalah uang yang menghasilkan lebih banyak uang.  Dengan kata lain, kapital lebih merupakan uang yang di investasikan ketimbang uang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan keingginan manusia.
Jadi kapitalisme adalah uang yang menghasilkan lebih banyak uang,  namun Marx mengungkapkan kepada kita bahwa kapital bukan hanya itu : kapital juga merupakan sebuah resolusi sosial tertentu.  dengan kata lain uang hanya akan menjadi kapital, karena adanya relasi sosial antara proletariat yang bekerja dan harus membeli produk dengan orang yang menginvestasikan upahnya. Kapitalis kapital untuk memperoleh keuntunagan terlihat sebagai kekuatan yang di bantu oleh alam- suatu kekuatan produktif imanen didalam kapital.
·           Akhir dari Kapitalisme
Marx sering dijuluki sebagai bapak dari komunisme yang berasal dari kaum terpelajar dan politikus. Ia memperdebatkan bahwa analisis tentang kapitalisme miliknya membuktikan bahwa kontradiksi dari kapitalisme akan berakhir dan memberikan jalan untuk komunisme.
Di lain tangan, Marx menulis bahwa kapitalisme akan berakhir karena aksi yang terorganisasi dari kelas kerja internasional.“Komunisme untuk kita bukanlah hubungan yang diciptakan oleh negara, tetapi merupakan cara ideal untuk keadaan negara pada saat ini. Hasil dari pergerakan ini kita yang akan mengatur dirinya sendiri secara otomatis. Komunisme adalah pergerakan yang akan menghilangkan keadaan yang ada pada saat ini. Dan hasil dari pergerakan ini menciptakan hasil dari yang lingkungan yang ada dari saat ini. – Ideologi Jerman-
Hubungan antara Marx dan Marxism adalah titik kontroversi. Marxism tetap berpengaruh dan kontroversial dalam bidang akademi dan politik sampai saat ini. Dalam bukunya Marx, Das Kapital (2006), penulis biografi Francis Wheen mengulangi penelitian David McLellan yang menyatakan bahwa sejak Marxisme tidak berhasil di Barat, hal tersebut tidak menjadikan Marxisme sebagai ideologi formal, namun hal tersebut tidak dihalangi oleh kontrol pemerintah untuk dipelajari.
·           Eksploitasi
Bagi Marx, ekploitasi dan dominasi lebih dari sekedar distribusi kesejahteraan dan kekuasaan yang tidak seimbang.  Ekspliotasi merupakan suatu bagianpenting dari ekonomi kapitalis.  Tentu saja masyarakat memiliki sejarah eksploitasi, tetapi yang unik dalam kapitalisme adalah bahwa eksploitasi dilakukan oleh sistem ekonomi yang impersonal dan “objekti”.  Kemudian paksaan jarang dianggap sebagai kekerasan, malah menjadi kebutuhan pekerja itu sendiri,  yang biasaterpenuhi hanya melaui upah, secara ironis Marx menggabarkan kebebasan upah kerja ini.
Untuk menggubah uangnya menjadi kapital ....pemilik uang harus bertemu di dalam pasar dengan buru-buruh bebas, bebas dalam dua pengrtian, dari satu sisi sebagai seseorang yang bebas dia bisa mengatur tenaganya sebagai komoditasnya sendiri,  dan disisi lain sebagai seseorang yang tidak memiliki komoditas lain untuk dijual,  dia kekurangan segala sesuatu yang penting untuk merealisasikan tenaganya.
Para pekerja menjadi”buruh- buruh yang bebas”, membuat kontrak-kontrak bebas dengan para kapitalis.  Namun , Marx percaya bahwa para pekerja tidak lagi mampu memproduksi demi kebutuhan mereka sendiri.  Hal ini benar khususnyakarena biasanya kapitalisme menciptakan apa yang disebut Marx sebagai”tentara cadangan” dari pengagguran yang mau melakukanya.  Inilah misalnya yang ditemukan Barbara Ehrenreich sebagai tujuan iklan lowongan kerja berupah yang rendah.
Kapitalisme membayar para pekerja kurang dari nilai yang mereka hasilkan dan meraup keuntungan untuk diri mereka sendiri. Hal ini membawa kita pada konsep sentral tentang nilai-nilai suplus.  Nilai surplus di didefinisikan sebagai perbedaan antara nilai produksi ketika dijual dan nilai elemen-elemen yang digunakan untuk membuat poduk tersebut (termasuk kerja para pekerja).  Kaptalisme biasanya menggunakan keuntungan ini untuk konsumsi pribadi, akan tetapi hal tersebut belum mengakibatkan ekspansi kapitalisme.  Kapitalis melebarkan perusahaa mereka dengan menggubah nilai-surplus itu menjadi modal yang akan menghasilkan nilai-nilai surplus yang lebih banyak. Marx memberiakan sebuah ibarat, tentang hal ini” kapitalisme merupakan kerja mati, seperi vampir, yang hiup dengan menhisap kehidupan kerja, dan makan dia hidup, makin banyak kerja yang dihisapnya”
Marx menggemukakan poin penting lainya tentang kapital” kapital eksis dan hanya bisa eksis sebagai kapital-kapital.  Maksudnya disini adalah bahwa kapitalisme selalu di dorong oleh kompetisi yang tiada henti. Kapitalisme mungkin terlihat terkontrol, meskipun mereka didorong oleh kompetisi yang konstan antara kapital-kapial. Kapital dipaksa untuk memperoleh  lebih banyak keuntungan demi mengakumulasikan dan menginvestasikan lebih banyak kapital. “ begitulah, kapitalis sama dengan si kikir dalam sebuah hal yang absolut, yakni memperkaya diri sendiri. Namun yang terlihat pada si kikir sebagai kegilaan individu, maka dalam kapitlis terlihat terliha sebagai efek dari mekanisme sosial yan roda penggeraknya adalah dirinya sendiri.
Keingginan untuk memperoleh lebih banyak keuntungan dan lebih banyak nilai surplus untuk ekspansi, mendorong kapitalisme pada apa yang disebut Marx denagan hukum-hukum akumulasi kapital. Kapitalis berusaha mengesploitasi pekerja semaksimal mungkin:  tertendensi konstan kapitalis adalah untuk memaksaonkos kerja kembali..ke angka Nol”.  Marx berpendapat bahwa struktur dan etos kapitalisme mendorong kapitalis dalam mengarahkan akumulasi pada penumpukan kapital yang lebih banyak lagi.  Unutk melakukan hal ini, berdasarkan pandangan Marx bahwa kerja merupakan sumber nilai, kapitalis digiring untuk meningkatkan eksploitasi terhadap proletariat. Inilah yang mendorong terjadinya konflik kelas.
·      Agama
Marx juga melihat agama sebagai sebuah ideologi.  Dia merujuk pada agama sebagai candu masyarakat.  Marx percaya bahwa agama, seperti halnya ideologi, merefleksikan suatu kebenaran, namun terbalik.  Karena orang-orang tidak bisa melihat bahwa kesukaran dan ketertindasan mereka diciptakan oleh sistem kapitalis, maka mereka diberikan suatu bentuk agama.  Marx dengan jelas menyatakan bahwa dia tidak menolak agama, pada hakikatnya, melainkan menolak suatu sistem yang mengandung ilusi-ilusi agama. Bentuk keagamaan ini mudah di kacaukan dan oleh karena itu selalu berkemungkinan untuk menjadi dasar suatu gerakan revolusioner.  Kita juga melihat bahwa gerakan-gerakan keagamaan sering berada garda depan dalam melawan kapitalisme(lihat,misalnya, teologis pembebasan)
·      Komunisme dan Sosialisme
Istilah sosialisme selalu identik dengan sosok Karl Marx. Padahal pemikiran tentang sosialisme terlampau jauh berkembang sejak abad ke V – sebelum Marx mulai memikirkan recolusi proletariat. Pemikiran Marx sendiri tentang sosialisme sebenarnya sudah termaktub dalam beberapa karya dan budaya Yunani kuno – meskipun terbatas pada objek dari sosialisme itu sendiri. sosialisme untuk semua digagas oleh Jambulos dan Euhemeros. Jambulos mendeskripsikan sebuah ‘negara matahari’ dimana segala-galanya – termasuk para isteri – dimiliki bersama.
Kata ‘sosialisme’ sendiri mucul di Prancis sekitar tahun 1830, begitu juga ‘komunisme’. Kedua kata ini pada awalnya memiliki makna yang selaras, namun ‘komunisme’ segera dipakai oleh golongan sosialis radikal, yang menuntut penghapusan total hak milik pribadi dan kesamaan konsumsi serta mengharapkan keadaan komunis itu dari kebaikan pemerintah, melainkan semata-mata dari perjuangan kaum terhisap sendiri (Frans. 2003:14). Sosialisme pada abad pertengahan memiliki motif-motif yang erat dengan nilai-nilai religius tertentu, yaitu Kristen. Terutama dalam pertimbanhan tentang penyambutan Kerajaan Allah, Orang harus bebas dari keterikatan.
Sedangkan memasuki zaman pencerahan, perkembangan paham sosialisme tidak mampu berkembang pesat. Hal ini disebabkan dominasi golongan borjuasi yang menuntut kebebasan politik supaya dapat bebas berusaha dan berdagang untuk kepentingan milik pribadi – sebesar dan sebebas mungkin. Sejak bergulirnya Revolusi Prancis (1789-1795), sosialisme memasuki era modern dalam perkembangannya. Keyakinan dasar para pemimpin sosialis modern adalah, secara prinsipil produk pekerjaan merupakan milik si pekerja. Milik bersama dianggap tuntutan akal budi. Mereka meyakini bahwa masyarakat akan berjalan jauh lebih baik kalau tidak berdasarkan milik pribadi.
Sejalan dengan perkembangan sosialisme, paham komunisme sebagai ‘sosialisme radikal’ pun berkembang mengiringi perkembangan induknya. Sejarah perkembangan kedua pemikiran ini – sampai saat ini – seolah mengerucut pada pergolakan yang terjadi di belahan Eropa, khusunya Uni Soviet – sekarang Rusia. Diantara tokoh-tokoh yang memiliki dominasi penuh atas kedua pemikiran ini adalah Karl Marx, Engels, Stalin, dan George Lukaes. Oleh karena itu, untuk memahami perkembangan pemikiran sosialis dan komunis, penulis menitik beratkan kajian pada perkembangan pemikiran Marx, Engels, dan Stalin. Sedangkan untuk memperkuat pengaruh pemikiran sosialisme dan komunisme modern, tulisan George Lukaes yang berjudul History and Class Conciousness (1923) tentunya tidak dapat ditinggalkan.
·      Sosialisme-nya Marx
Pandangan Marx tentang sosialisme bertentanngan dengan konsepsi-konsepsi sosialisme yang diciptakan Fourier dan Owen – yang menciptakan ‘dunia baru’ dimana setiap orang hidup bahagia. Marx berasumsi bahwa konsepsi tersebuat hanya angan-angan belaka, karena tidak menunjukkan jalan bagaimana mencapainya. Semua itu utopia, kata Marx, hanya impian belaka. Disisi lain, Marx sendiri selalu menolak member gambaran sosialisme. Menurutnya, sosialisme – ilmiah – tidak dapat “membuat resep bagi dapur umum dimasa datang”.
Sementara itu, untuk membedakan ajaran dari gagasan sosialisme utopis, Marx menyusun suatu teori sosial yang menurutnya didasari hokum-hukum ilmiah dan karena itu pasti terlaksana. Marx meyakini adanya ‘hukum-hukum gerak’ dalam masyarakat yang dijalankan dengan prinsip ‘kebutuhan yang mutlak’ didasarkan pada penjelasan naïf dari kemajuan ilmu pengetahuan alam (Elster. 2000:31). Pertimbangan moral, menurut Marx, bukanlah dasar bagi sosialisme. Penilaian bahwa kapitalisme itu jahat dan sosialisme itu baik tidak berlaku mutlak, melainkan jika syarat-syarat objektif pengahpusan hak milik pribadi atas sesuatu itu terpenuhi. Hal ini berarti klaim Marx terhadap sosialisme-nya yang bersifat ilmiah bisa diterima, karena berdasarkan pengetahuan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat – yang kemudian tersohor dengan istilah ‘Pandangan Materialis Sejarah’ (Frans. 2003:137).
Sosialisme yang akan datang menggantikan kapitalisme adalah buah dari pada perkembangan masyarakat dalam sejarah dibawah pengaruh hokum dialektik. Menurut Marx, menggunakan jalan ilmiah, sosialisme tidak dapat ditentukan sekarang bentuk dan rupa masa yang akan datang – artinya susunan baru pada masyarakat tidak dibuat, melainkan dilahirkan. Melihat realita sejarah, menurut penulis, sosialisme yang berorientasi pada terbentuknya ‘masyarakat tidak berkelas’ adalah bagian dari hegemoni dan upayah manusia mencapai sebuah kesetaraan. Meskipun realita yang berkembang kini tidak berjalan horizontal, melainkan vertikal.
Konsep sosialisme Marx memang lebih kompleks daripada filsuf lainnya. Tujuan sosialisme dalam pandangn Marx bukanlah membuat suatu konstruksi masyarakat dalam suatu sistem yang selesai bentuknya, melainkan menyelidiki suatu perkembangan sejarah yang melahirkan dua kelas yang bertentangan, dan kemudian mempelajari betapa berpengaruhnya faktor-faktor kelas tersebut terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang akan melenyapkan pertentangan tersebut.
Pendapat Marx diatas dikuatkan oleh Engels dalam bukunya “Perkembangan Sosialisme dari Utopia sampai ke Ilmu.”Ajarannya adalah bahwa komunisme merupakan ajaran tentang syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk mencapai kemerdekaan kaum buruh. Dalam menyusun teori mengenai perkembangan masyarakat, Marx sangat tertarik oleh gagasan filsuf Jerman George Hegel mengenai dialektika karena di dalamnya terdapat unsur kemajuan melalui konflik dan pertentangan. Dan unsur inillah yang dia perlukan menyusun teorinya mengenai perkembangan masyarakat melalui revolusi. Untuk melandasi teori sosial, maka dia merumuskan terlebih dahulu teori mengenai materialisme dialektik (dialectical materialism). Kemudian konsep-konsep itu dipakainya untuk menganalisa sejarah perkembangan masyarakat yang dinamakannya materialisme historis (historical materialism). Dan karena materi oleh Marx diartikan sebagai keadaan ekonomi, maka teori marx juga sering disebut ’analisa ekonomis terhadap sejarah’. Dalam menjelaskan teorinya Marx menekankan bahwa sejarah (yang dimaksud hanyalah sejarah Barat) menunjukkan bahwa masyarakat zaman lampau telah berkembang menurut hukum-hukum dialektis yaitu maju melalui pergolakan yang disebabkan oleh kontradiksi-kontradiksi intern melalui suatu gerak spiral ke atas sampai menjadi masyarakat dimana Marx berada. Atas dasar analisa terakhir ia sampai pada kesimpulan bahwa menurut hukum ilmiah dunia kapitalis akan mengalami revolusi -yang disebutnya revolusi proletariat- yang akan menghancurkan sendi-sendi masyarakat kapitalis tersebut, dan akan meratakan jalan untuk timbulnya masyarakat komunis.

F. Alienasi
Marx menggunakan konsep alienasi untuk menyingkapkan efek produksi kapitalis yang bersifat menghancurkan terhadap manusia dan terhadap masyarakt. Yang sangat signifikan di sini adalah sistem dua kelas yaitu kaum kapitalis mempekerjakan karyawan (dengan demikian mereka memiliki waktu para pekerja) dan para kapitalis memiliki alat-alat produksi (alat-alat dan bahan-bahan mentah) dan juga memiliki produk-produk hasil akhirnya. Agar dapat bertahan hidup, para pekerja dipaksa menjual waktu kerja mereka kepada kaum kapitalis.
Alienasi dapat dilihat mempunyai empat komponen mendasar.
1.    Para pekerja di dalam masyarakat kapitalis dialienasi dari kegiatan produktifnya. Mereka tidak menghasilkan objek-objek menurut ide-ide mereka sendiri atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri secara langsung. Malah, para pekerja bekerja bagi kaum kapitalis, yang memberi upah sekadar untuk mnyambung hidup sebagai balasan untuk pemakaian mereka dalam cara yang dianggap cocok oleh sang kapitalis. Karena kegiatan produktif adalah milik kaum kapitalis, dan karena mereka yang memutuskan apa yang harus dilakukan, dapat dikatakan bahwa para pekerja teralienasi dari kegiatan-kegiatan itu.

2.    Para pekerja di dalam masyarakat kapitalis teralienasi bukan hanya melalui kegiatan-kegiatan itu-produk. Produk pekerjaan mereka bukan milik para pekerja, tetapi milik para kapitalis, yang mungkin memakainya dengan cara apa pun yang mereka inginkan karena merupakan hak milik pribadi para kapitalis. Kaum kapitalis akan menggunakan kepemilikannya agar dapat menjual produk demi mendapatkan keuntungan.
3.    Para pekerja di dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari para rekan kerjanya. Asumsi Marx ialah bahwa pada dasarnya orang butuh dan ingin bekerja  sama agar dapat mengambil dari alam apa yang mereka perlukan untuk dapat bertahan hidup. Akan tetapi, di dalam kapitalisme kerja sama itu diganggu, dan orang, kerap orang-orang asing, dipaksa bekerja berdampingan untuk sang kapitalis. Bahkan, para pekerja di lini perakitan yang terdiri dari teman-teman dekat pun, sangat banyak yang terisolasi karena sifat dasar teknologinya.
4.    Para pekerja di dalam masyarakat kapitalis teralienasi dari potensi manusianya sendiri. Para individu semakin sedikit bekerja sebagai manusia karena mereka semakin tersusutkan di dalam pekerjaan mereka menjadi berfungsi sebagai mesin.


3.    Kritik Terhadap Karl Marx
Ada beberapa problem dari dalam teori Marx yang harus didiskusikan, pertama problem yang secara aktual terdapat dalam komunisme.  Kegagalan masyarakat-masyarakat  komunis dan perubahanya menjadi ekonomi yang lebih berorientasi kapitalistis memaksa kita mempersoalkan apakah makna semua ini bagi peran teori Marxian.  Ide-ide Marx kelihatanya telah diuji dan ternyata gagal
Problem kedua yang sering dikemukakan adalah tidak adanya subjek emansipatoris.  Inilah ide baru teori Marx menempatkan proletariat di jantung perubahan sosial yang akan menggiring kepada komunisme,  namun pada kenyataanya, proletariat jarang memperoleh posisi ini dan sering termasuk ke dalam kelompok-kelompok yang menentang komunisme.
Problem ketiga adalah hilangnya dimensi gender.  Salah satu poin utama teori Marx adalah bahwa kerja menjadi sebuah komodias di bawah kapitalisme, sementara pada fakta historisnya ini lebih sedikit terjadi pada wanita ketimbang laki-laki.  Untuk tingkat yang lebih luas, kerja laki-laki yang di upah tergantung pada kerja wanita yang tidak di upah, sebab pertumbuhan tenaga kerja tergantung kerja wanita yang tidak di upah.
Problem ke empat adalah bahwa Marx melihat ekonomi sebagai sesuatu yang dikendarai oleh produksi dan mengabaikan aturankonsumsi.  Fokusnya pada produksi menggiringinya untuk mempredisikan bahwa masalah-masalah efisiensi dan pemotongan upah akan menggiring pada ploterarianisasi, peningkatan alienisasi dan semakin meruncingya konflik kelas.
Terakhir, sebagian mengaggap Marx tidak kritis dalam menerima konsepsi kemajuan barat sebagai sebuah problem, Marx percaya bahwa mesin sejarah adalah manusia yang selau menigkatkan eksploitasi terhadap alam demi kebutuhan-kebutuhan materialnya.  Di samping itu Marx yakin bahwa hakikat manusia adalah kemampuannya untuk mengelola alam demi mencapai tujuan-tujuanya.  Asumsi inilah yang barangkali jadi penyebab banyaknya krisis lingkungan saat ini dan dimasa datang.